BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Demokrasi berarti
kekuasaan rakyat.Pemerintahan yang diselenggarakan berdasarkan kekuasaan yang
berasal dari rakyat,oleh rakyat dan untuk rakyat.Atau rakyat ikut serta secara
aktif terlibat dalam penyelenggaraan pemerintahan,sehingga semua kebijakan atau
keputusan yang diambil oleh pemerintah itu sesuai dengan aspirasi rakyat.Di
sisi lain rakyat aktif melakukan kontrol terhadap apa yang dilakukan oleh
pemerintah,
sehingga pemerintahan berjalan dengan baik
atau tercipta good governance.[1]
Perkembangan
demokrasi di Indonesia telah mengalami pasang surut.Indonesia telah mengalami
beberapa pergantian sistem pemerintahan.Hal ini menimbulkan banyak pertanyaan
dan oleh karena itu kami tertarik mengangkat tema tentang demokrasi untuk
diulas lebih lanjut.
B. Rumusan Masalah
1) Apa makna dan
hakikat demokrasi ?
2) Bagaimanakah
demokrasi sebagai pandangan hidup ?
3) Apa saja unsur
penegak demokrasi ?
4) Bagaimanakah
model-model demokrasi ?
5) Apa prinsip dan
parameter demokrasi ?
6) Bagaimana sejarah
perkembangan demokrasi di barat dan di Indonesia ?
7) Bagaimanakah
pandangan islam mengenai demokrasi ?
8) Apa isu jender
dalam islam dan demokrasi ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Makna dan Hakikat Demokrasi
Kata demokrasi
dapat ditinjau dari dua pengertian, yakni pengertian secara bahasa atau
etimologis dan pengertian secara istilah atau terminologis.
1) Pengertian Etimologis
Demokrasi
Dari sudut bahasa (etimologis), demokrasi
berasal dari bahasa yunani, yaitu demos yang berarti rakyat dan cratos atau
cratein yang berarti pemerintahan atau kekuasaan.Jadi, secara bahasa
demos-cratein atau demos-cratos berarti pemerintahan rakyat atau kekuasaan
rakyat.
Merujuk pada pengertian etimologis ini,
perihal demokrasi adalah perihal penyelenggaraan kekuasaan dalam sejarah
kehidupan politik manusia. Kekuasaan tertinggi dalam suatu negara selanjutnya
disebut kedaulatan-berada di tangaan rakyat negara yang bersangkutan. Gagasan
demikian merupakan inti dari teori kedaulatan negara,yang sekaligus menjadi
latar belakang lahirnya demokrasi.
Pengelenggaraan demokrasi atau kedaulatan
rakyat bermula dari yunani kuno yang di praktikkan dalam hidup bernegara antara
abad ke-4 SM-abad ke-6 SM.Demokrasi yang dipraktikkan pada waktu itu adalah
demokrasi langsung ,artinya hak rakyat untuk membuat keputusan-keputusan
politik dijalankan secara langsung oleh seluruh rakyat atau warga negara.Hal
ini dapat dilakukan karena Yunani pada waktu itu berupa negara kota (polis)
yang penduduknya terbatas pada sebuah kota dan daerah sekitarnya yang
berpenduduk sekitar 300.000 orang. Tambahan pula, meskipun ada keterlibatan
seluruh warga, namun masi ada pembatasan. Misalnya, para anak, wanita dan budak
tidak berhak berpartisipasi dalam pemerintahan.
2) Pengertian
Terminologis Demokrasi
Dari sudut terminologi, banyak sekali definisi
demokrasi yang dikemukakan oleh beberapa ahli politik yang masing-masing
memberikan definisi dari sudut pandang yang berbeda.Berikut ini beberapa
definisi tentang demokrasi.
·
Harris soche menyatakan : “Demokrasi adalah bentuk
pemerintahan rakyat, karena itu kekuasaan pemerintahan itu melekat pada diri
rakyat, diri orang banyak, dan merupakan hak bagi rakyat atau orang banyak
untuk mengatur, mempertahankan, dan melindungi dirinya dari paksaan dan
perkosaan orang lain atau badan yang diserah untuk memerintah.”
·
Henry B.Mayo menyatakan : “Sistem politik
demokratis adalah sistem yang menunjukkan bahwa kebijaksanaan umum ditentukan
atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat
dalam pemilihan-pemilihan berkala Yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik
dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik.”
·
Menurut International Commission Of Jurist :
“Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan dimana hak untuk membuat
keputusan-keputusan politik diselenggarakan oleh warga negara melalui
wakil-wakil yang dipilih oleh mereka dan yang bertanggung jawab kepada mereka
melalui suatu proses pemilihan yang bebas.”
Ada satu pengertian mengenai demokrasi yang
dianggap paling populer diantara pengertian yang ada. Pengertian demokrasi yang
dikemukakan pada tahun 1863 oleh Abraham Lincolin yang mengatakan demokrasi
adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.[2]
B. Demokrasi Sebagai
Pandangan Hidup
Masyarakat harus
menjadikan demokrasi sebagai filsafat hidup dalam bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.Demokrasi tidak akan datang tumbuh dan berkembang dengan sendirinya
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Karena itu demokrasi
memerlukan usaha nyata setiap warga dan perangkat pendukungnya yaitu budaya
yang kondusif sebagai manifestasi dari suatu kerangka berpikir dan rancangan
masyarakat.[3]
Demokrasi
bukanlah “take for granted”. Demokrasi membutuhkan usaha nyata dari setiap
warga maupun penyelenggara negara untuk berperilaku sedemikian rupa sehingga
mendukung pemerintahan atau sistem politik demokrasi. Perilaku yang mendukung
tersebut tentu saja merupakan perilaku demokratis. Perilaku demokrasi terkait
dengan nilai-nilai demokrasi. Perilaku yang senantiasa bersandarkan pada
nilai-nilai demokrasi akan membentuk budaya atau kultur demokrasi. Pemerintahan
demokratis memerlukan kultur demokrasi untuk membuatnya performed (eksis dan
tegak). Perilaku demokrasi ada dalam manusia itu sendiri, baik selaku warga
negara maupun penjaga negara.
Menurut John Dewey dalam zamroni (2001), ide
pokok demokrasi adalah pandangan hidup yang dicerminkan dengan perlunya
partisipasi dari setiap warga yang sudah dewasa dalam membentuk nilai-nilai
yang mengatur kehidupan. Demokrasi merupakan suatu keyakinan, suatu prinsip
pertama dan utama yang harus dijabarkan dan dilaksanakan secara sistematis
dalam bentuk aturan sosial politik.Demokrasi sebagai sikap hidup di dalamnya
ada nilai-nilai demokrasi yang dipraktikkan oleh masyarakatnya sebagai budaya
demokrasi.
Menurut Nurcholish Madjid, demokrasi sebagai
proses berisikan norma-norma yang menjadi pandangan hidup bersama. Demokrasi
adalah proses menuju dan menjaga civil society yang menghormati dan berupaya
merealisasikan nilai-nilai demokrasi.
Menurut Padmo Wahyono, dalam alfian dan oetojo
usman (1990) demokrasi adalah suatu pola kehidupan masyarakat yang sesuai
dengan keinginan ataupun pandangan hidup manusia yang berkelompok tersebut.
Demokrasi merupakan bentuk kehidupan bersama dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara. Sebagai sikap hidup maka demokrasi berisi nilai-nilai
atau norma yang hendaknya dimiliki oleh warga yang menginginkan kehidupan
demokrasi. Demokrasi sebagai sikap hidup berisi nilai-nilai demokrasi yang
dapat dimiliki, dihayati, dan diamalkan oleh semua orang. Bentuk pemerintahan
demokrasi maupun sistem politik demokrasi suatu negara memerlukan sikap hidup
warganya yang demokratis.
Dengan demikian,
pemahaman demokrasi sebagai pandangan hidup mensyaratkan adanya kultur (budaya)
demokrasi yang berkembang di masyarakat.[4]
C. Unsur Penegak
Demokrasi
Tegaknya demokrasi sebagai sebuah tata
kehidupan sosial dan sistem politik sangat bergantung kepada tegaknya unsur
penopang demokrasi itu sendiri.Unsur-unsur yang dapat menopang tegaknya
demokrasi antara lain :
Ø Negara Hukum ; Dalam kepustakaan ilmu hukum di Indonesia
istilah negara hukum sebagai terjemahan dari rechtsstaat dan the rule of law.
Konsepsi negara hukum mengandung pengertian bahwa negara memberikan
perlindungan hukum bagi warga negara melalui pelembagaan peradilan yang bebas
dan tidak memihak dan penjaminan hak asasi manusia. Istilah rechtsstaat dan the rule of law yang diterjemahkan menjadi negara hukum menurut
Moh.Mahfud MD pada hakikatnya mempunyai makna berbeda. Konsep rechtsstaat mempunyai ciri-ciri sebagai
berikut; adanya perlindungan terhadap HAM, adanya pemisahan dan pembagian
kekuasaan pada lembaga negara untuk menjamin perlindungan HAM, pemerintahan
berdasarkan peraturan, adanya peradilan administrasi. Adapun the rule of law dicirikan oleh; adanya
supremasi aturan-aturan hukum, adanya kesamaan kedudukan di depan hukum, adanya
jaminan perlindungan HAM. Dengan demikian konsep negara hukum sebagai gabungan
dari kedua konsep di atas dicirikan sebagai berikut; adanya jaminan
perlindungan terhadap HAM, adanya supremasi hukum dalam penyelenggaraan
pemerintahan, adanya pemisahan dan pembagian kekuasaan negara, adanya lembaga
peradilan yang bebas dan mandiri.
Ø Masyarakat Madani ; masyarakat madani (civil society) dicirikan
dengan masyarakat terbuka, masyarakat yang bebas dari pengaruh kekuasaan dan
tekanan negara, masyarakat yang kritis dan berpartisipasi aktif serta
masyarakat egaliter.Masyarakat madani merupakan elemen yang sangat signifikan
dalam membangun demokrasi. Sebab salah satu syarat penting bagi demokrasi
adalah terciptanya partisipasi masyarakat dalam proses-proses pengambilan
keputusan yang dilakukan oleh negara atau pemerintahan. Masyarakat madani
mensyaratkan adanya civic engagement yaitu keterlibatan warga negara dalam
asosiasi-asosiasi sosial. Civic engagement ini memungkinkan tumbuhnya sikap
terbuka, percaya, dan toleran antarsatu dengan lain yang sangat penting artinya
bagi bangunan politik demokrasi (saiful mujani:2001). Masyarakat madani dan
demokrasi bagi Gellner merupakan dua kata kunci yang tidak dapat dipisahkan.
Demokrasi dapat dianggap sebagai hasil dinamika masyarakat yang menghendaki
adanya partisipasi. Tatanan nilai-nilai masyarakat tersebut ada dalam
masyarakat madani. Karena itu demokrasi membutuhkan tatanan nilai-nilai sosial
yang ada pada masyarakat madani.
Ø Infrastruktur Politik ; komponen berikutnya yang dapat mendukung
tegaknya demokrasi adalah infrastruktur politik. Infrastruktur politik terdiri
dari partai politik, kelompok gerakan, dan kelompok penekan atau kelompok
kepentingan. Partai politik merupakan struktur kelembagaan politik yang
aggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama
yaitu memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik dalam
mewujudkan kebijakan-kebijakannya. Kelompok gerakan yang lebih dikenal dengan
sebutan organisasi masyarakat merupakan sekumpulan orang-orang yang berhimpun
dalam satu wadah organisasi yang berorientasi pada pemberdayaan warganya
seperti Muhamadiyah, NU, Persis, Perti, Nahdatul Wathon, Al-Wasliyah, Al-
Irsyad, Jamiatul Khair dan sebagainya. Sedangkan kelompok penekan atau kelompok
kepentingan merupakan sekelompok orang dalam sebuah wadah organisasi yang
didasarkan pada kriteria profesionalitas dan keilmuan tertentu seperti AIPI
(Asosiasi Ilmuwan Politik Indonesia), IKADIN, KADIN, ICMI, PGRI, LIPI, PWI, dan
sebagainya.
Menciptakan
dan menegakkan demokrasi dalam tata kehidupan kenegaraan dan pemerintahan,
partai politik seperti dikatakan oleh Miriam Budiarjo, mengemban beberapa
fungsi: sebagai sarana komunikasi politik, sebagai sarana sosialisasi politik,
sebagai sarana rekrutmen kader dan anggota politik, sebagai sarana pengatur
konflik. Keempat fungsi partai politik tersebut merupakan pengejawantahan dari
nilai-nilai demokrasi yaitu adanya partisipasi, kontrol rakyat melalui partai
politik terhadap kehidupan kenegaraan dan pemerintahan serta adanya pelatihan
penyelesaian konflik secara damai.
Begitu
pula aktivitas yang dilakukan oleh kelompok gerakan dan kelompok penekan yang
merupakan perwujudan adanya kebebasan berorganisasi, kebebasan menyampaikan
pendapat dan melakukan oposisi terhadap negara dan pemerintah. Hal itu
merupakan indikator bagi tegaknya sebuah demokrasi. Kaum cendekiawan, kalangan
sivitas akademi kampus, kalangan pers merupakan kelompok penekan signifikan
untuk mewujudkan sistem demokratis dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan.
Begitu pula aktivitas yang dilakukan oleh kelompok gerakan merupakan wujud
keterlibatan dalam melakukan kontrol terhadap kebijakan yang diambil oleh
negara. Dengan demikian partai politik, kelompok gerakan dan kelompok penekan
sebagai infrastruktur politik menjadi salah satu pilar tegaknya demokrasi.
D. Model-Model
Demokrasi
mengajukan lima corak atau model demokrasi
yaitu demokrasi liberal, demokrasi terpimpin, demokrasi sosial, demokrasi
partisipasi, dan demokrasi konstitusional. Penjelasan kelima model demokrasi
tersebut sebagai berikut ;
·
Demokrasi Liberal ; yaitu pemerintahan yang dibatasi oleh
undang-undang dan pemilihan umum bebas yang diselenggarakan dalam waktu yang
ajeg. Banyak negara Afrika menerapkan model ini hanya sedikit yang bisa
bertahan.
·
Demokrasi Terpimpin ; para pemimpin percaya bahwa semua tindakan
mereka dipercaya rakyat tetapi menolak pemilihan umum yang bersaing sebagai
kendaraan untuk menduduki kekuasaan.
·
Demokrasi Sosial ; adalah demokrasi yang menaruh kepedulian
kepada keadilan sosial dan egalitarianisme bagi persyaratan untuk memperoleh
kepercayaan politik.
·
Demokrasi Partisipasi ; yaitu menekankan hubungan timbal balik antara
penguasa dan yang dikuasai.
·
Demokrasi Konstitusional ; yang menekankan proteksi khusus bagi kelompok-kelompok
budaya yang menekankan kerja sama yang erat diantara elit yang mewakili bagian
budaya masyarakat utama.
Selanjutnya
pembagian demokrasi dilihat dari segi pelaksanaan menurut Inu Kencana terdiri dari
dua model yaitu demokrasi langsung dan demokrasi tidak langsung. Demokrasi
langsung terjadi bila rakyat mewujudkan kedaulatannya kepada suatu negara
dilakukan secara langsung. Pada demokrasi
langsung lembaga legislatif hanya berfungsi sebagai lembaga pengawas
jalannya pemerintahan, sedangkan pemilihan pejabat eksekutif dilakukan rakyat
secara langsung melalui pemilu. Begitu juga pemilihan anggota parlemen atau
legislatif dilakukan rakyat secara langsung. Demokrasi tidak langsung terjadi bila untuk mewujudkan
kedaulatannya rakyat tidak secara langsung berhadapan dengan pihak eksekutif,
melalui lembaga perwakilan. Dengan demikian demokrasi tidak langsung disebut
juga dengan demokrasi perwakilan.
E. Prinsip dan
Parameter Demokrasi
Suatu
pemerintahan dikatakan demokratis bila dalam mekanisme pemerintahan mewujudkan
prinsip-prinsip demokrasi. Menurut Masykuri Abdillah (1999) prinsip-prinsip
demokrasi terdiri atas prinsip persamaan, kebebasan, dan pluralisme. Sedangkan
dalam pandangan Robert A. Dahl terdapat tujuh prinsip yang harus ada dalam
sistem demokrasi yaitu ; kontrol atas keputusan pemerintah, pemilihan yang
teliti dan jujur, hak memilih dan dipilih, kebebasan menyatakan pendapat tanpa
ancaman, kebebasan mengakses informasi, kebebasan berserikat (Masykuri
Abdillah,1999).
Prinsip-prinsip
negara demokrasi yang telah disebut di atas kemudian dituangkan dalam konsep
yang lebih praktis untuk dapat diukur dan dicirikan. Ciri-ciri ini yang
kemudian dijadikan parameter untuk mengukur tingkat pelaksnaan demokrasi yang
berjalan di suatu negara. Untuk mengukur suatu negara atau pemerintah dalam
menjalankan tata pemerintahannya dikatakan demokratis dapat dilihat dari empat
aspek : masalah pembentukan negara, dasar kekuasaan negara, Susunan kekuasaan
negara, Masalah kontrol rakyat.
Menurut
Djuanda Widjaya kehidupan demokratis dalam suatu negara ditandai oleh beberapa
hal sebagai berikut :
·
Dinikmati dan dilaksanakan hak sertaa
kewajiban politik oleh masyarakat berdasarkan prinsip-prinsip dasar HAM yang
menjamin adanya kebebasan,kemerdekaan dan rasa merdeka.
·
Penegakan hukum yang mewujud pada asas
supremasi penegakan hukum,kesamaan di depan hukum dan jaminan terhadap HAM.
·
Kesamaan hak dan kewajiban anggota masyarakat.
·
Kebebasan pers dan pers yang bertanggung
jawab.
·
Pengakuan terhadap hak minoritas.
·
Pembuatan kebijakan negara yang berlandaskan
pada asas pelayanan,pemberdayaan dan pencerdasan.
·
Sistem kerja yang kooperatif dan kolaboratif.
·
Keseimbangan dan keharmonisan.
·
Tentara yang profesional sebagai kekuatan
pertahanan.
·
Lembaga peradilan yang independen.
Pendapat
berikut dikemukakan oleh Sri Soemantri yang menyatakan bahwa negara dikatakan
demokratis bila :
·
hukum ditetapkan dengan persetujuan wakil
rakyat yang dipilih secara bebas
·
hasil pemilu dapat mengakibatkan pergantian
orang-orang pemerintahan
·
pemerintahan harus terbuka
·
kepentingan minoritas harus dipertimbangkan.
Selanjutnya
Affan Gaffar (pakar politik UGM) menyebutkan sejumlah prasyarat untuk mengamati
apakah sebuah political order (pemerintahan) merupakan sistem yang demokratik
atau tidak melalui ukuran diantaranya ; akuntabilitas, rotasi kekuasaan,
rekruitmen politik, pemilihan umum dan adanya pengakuan dan perlindungan
hak-hak dasar. Kelima elemen tersebut berlaku secara universal di dalam melihat
demokratis tidaknya suatu rezim pemerintahan.
F. Sejarah
Perkembangan Demokrasi di Barat dan Indonesia
Ø Sejarah dan
perkembangan demokrasi di barat
Konsep demokrasi semula lahir dari pemikiran
mengenai hubungan negara dan hukum di yunani kuno dan dipraktekkan dalam hidup
bernegara antara abad ke-6 SM sampai abad ke-4 M.
Demokrasi
yang dipraktikkan pada masa itu berbentuk demokrasi langsung artinya hak rakyat
untuk membuat keputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh warga
negara berdasarkan prosedur mayoritas. Sifat langsung itu berjalan secara
efektif karena negara kota Yunani kuno berlangsung dalam kondisi sederhana
dengan wilayah negara yang hanya terbatas pada sebuah kota kecil dengan jumlah
penduduk sekitar 300.000 orang. Selain itu ketentuan-ketentuan menikmati hak
demokrasi hanya berlaku untuk warga negara yang resmi, sedangkan bagi warga
negara yang berstatus budak belian,
pedagang asing, perempuan dan anak-anak tidak dapat menikmatinya.
Gagasan demokrasi yunani kuno berakhir pada
abad pertengahan. Masyarakat abad pertengahan dicirikan pleh struktur masyarakat
yang feodal, kehidupan spiritual dikuasai oleh paus dan pejabat agama,
sedangkan kehidupan politiknya ditandai oleh perebutan kekuasaan diantara para
bangsawan. Dengan demikian kehidupan sosial politik dan pada masa ini hanya
ditentukan oleh elit-elit masyarakat yaitu kaum bangsawan dan kaum agamawan.
Karena itu demokrasi tidak muncul pada abad pertengahan (abad kegelapan).
Menjelang akhir abad pertengahan, tumbuh
kembali keinginan menghidupkan demokrasi. Lahirnya Magna Charta (Piagam Besar)
sebagai suatu piagam yang memuat perjanjian antara kaum bangsawan dan Raja John
di Inggris merupakan tonggak baru kemunculan demokrasi empirik. Dalam magna
charta ditegaskan bahwa raja mengakui dan menjamin beberapa hak dan hak khusus
bawahannya. Selain itu piagam tersebut juga memuat dua hal prinsip yang sangat
mendasar ; pertama, adanya pembatasan
kekuasaan raja, kedua, hak asasi
manusia lebih penting daripada kedaulatan raja.
Momentum lainnya yang menandai kemunculan
kembali demokrasi di dunia Barat adalah gerakan renaissance dan reformasi.
Renaissance merupakan gerakan yang menghidupkan kembali minat pada sastra dan
budaya Yunani kuno. Renaissance bersumber dari tradisi keilmuan islam dan
berintikkan pada pemuliaan akal pikiran untuk selalu mencipta dan mengembangkan
ilmu pengetahuan telah mengilhami munculnya kembali gerakan demokrasi.
Peristiwa lain yang mendorong timbulnya
kembali gerakan demokrasi di Eropa yang sempat tenggelam pada abad pertengahan
adalah gerakan reformasi yaitu suatu gerakan revolusi agama yang terjadi di
Eropa pada abad ke-16 yang bertujuan untuk memperbaiki keadaan dalam gereja
katolik. Hasil dari gerakan reformasi adalah adanya peninjauan terhadap doktrin
gereja katolik yang berkembang menjadi protestanisme.
Pada kemunculannya kembali di Eropa, hak-hak
politik rakyat dan hak-hak asasi manusia secara individu merupakan tema dasar
dalam pemikiran politik (ketatanegaraan). Untuk itu, timbullah gagasan tentang
cara membatasi kekuasaan pemerintah melalui pembuatan konstitusi baik yang
tertulis maupun yang tidak tertulis. Di atas konstitusi inilah bisa ditentukan
batas-batas kekuasaan pemerintahan dan jaminan atas hak-hak politik rakyat,
sehingga kekuasaan pemerintahan diimbangi dengan kekuasaan parlemen dan
lembaga-lembaga hukum. Gagasan inilah yang kemudian dinamakan konstitusionalisme dalam sistem ketata
negaraan.
Salah satu ciri penting pada negara yang
menganut konstitusionalisme (demokrasi konstitusional) yang hidup pada abad
ke-19 ini adalah sifat pemerintah yang pasif, artinya, pemerintah hanya menjadi
wasit atau pelaksana sebagai keinginan rakyat yang dirumuskan oleh wakil rakyat
di parlemen. Jika dibandingkan dengan Trial Politica Montesqiueu, tugas
pemerintah dalam konstitusionalisme ini hanya terbatas pada tugas eksekutif,
yaitu melaksanakan undang-undang yang telah dibuat oleh parlemen atas nama
rakyat.
Dalam konsep konstitusionalisme atau demokrasi
konstitusional abad ke-19 ini disebut Negara Hukum Formal (klasik). Yaitu
negara yang tidak mandiri yang hanya bertindak sebagai penyaring berbagai
keinginan dari interest-group dalam masyarakatnya.
Demokrasi, dalam gagasan baru ini, harus
meluas mencakup dimensi ekonomi dengan sistem yang dapat menguasai
kekuatan-kekuatan ekonomi dan berusaha memperkecil perbedaan sosial dan ekonomi
terutama harus mampu mengatasi ketidakmerataan distribusi kekayaan di kalangan
rakyat. Gagasan baru ini biasanya disebut sebagai gagasan Welfare State atau
“Negara Hukum Material” (dinamis) dengan ciri-ciri yang berbeda dengan
dirumuskan dalam konsep negara hukum klasik (formal).
Berdasarkan pernyataan dia atas, sejarah dan
perkembangan demokrasi di barat diawali berbentuk demokrasi langsung yang
berakhir pada abad pertengahan. Menjelang akhir abad pertengahan lahir Magna
Charta dan dilanjutkan munculnya gerakan renissance dan reformasi yang
menekankan pada adanya hak atas hidup, hak kebebasan dan hak memiliki.
Selanjutnya pada abad ke-19 muncul gerakan demokrasi konstitusional. Dari
demokrasi konstitusional melahirkan demokrasi welfare state.
Ø Sejarah dan
perkembangan demokrasi di Indonesia
Perkembangan
demokrasi di Indonesia mengalami pasang-surut dari masa kemerdekaan sampai saat
ini. Perkembangan demokrasi di Indonesia dari segi waktu dibagi dalam empat
periode yaitu ;
1. Demokrasi pada
periode 1945-1959
Demokrasi pada masa ini dikenal dengan sebutan
demokrasi parlementer. Sistem parlementer yang mulai berlaku sebulan sesudah
kemerdekaan di proklamirkan dan kemudian diperkuat dalam UUD 1945 dan 1950,
ternyata kurang cocok untuk Indonesia. Karena lemahnya benih-benih demokrasi
sistem parlementer memberi peluang untuk dominasi partai-partai politik dan
Dewan Perwakilan Rakyat.
UUD 1950 menetapkan berlakunya sistem
parlementer di mana badan eksekutif terdiri dari presiden sebagai kepala negara
konstitusional beserta menteri-menterinya yang mempunyai tanggung jawab
politik. Di samping itu ternyata ada beberapa kekuatan sosial dan politik yang
tidak memperoleh saluran dan tempat yang realistis dalam konstelasi politik,
padahal merupakan kekuatan yang paling penting, yaitu seorang presiden yang
tidak mau bertindak sebagai “rubber stamp president” (presiden yang membubuhi
capnya belaka) dan tentara yang karena lahir dalam revolusi merasa bertanggung
jawab untuk turut menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh
masyarakat Indonesia pada umumnya.
Faktor-faktor semacam ini, di tambah dengan
tidak mampunya anggota-anggota parta-partai yang tergabung dalam konstituante
untuk mencapai konsensus mengenai dasar negara untuk undang-undang dasar baru,
mendorong Ir. Soekarno sebagai presiden untuk mengeluarkan dekrit presiden 5
juli yang menentukan berlakunya kembali UUD 1945. Dengan demikian masa
demokrasi berdasarkan sistem parlementer berakhir.
2. Demokrasi pada
periode 1959-1965
Ciri-ciri periode ini adalah dominasi
presiden, terbatasnya peranan partai, berkembangnya pengaruh komunis dan
meluasnya peranan ABRI sebagai unsur sosial politik. Dekrit presiden 5 Juli
dapat dipandang sebagai suatu usaha untuk mencari jalan keluar dari kemacetan
politik melalui pembentukan kepemimpinan yang kuat. UUD 1945 membuka kesempatan
bagai seorang presiden untuk bertahan selama sekurang-kurangnya lima tahun.
Akan tetapi ketetapan MPRS No. III/1963 yang mengangkat Ir. Soekarno sebagai
presiden seumur hidup telah membatalkan perbatasan waktu lima tahun ini (UUD
memungkinkan seorang presiden untuk dipilih kembali) yang ditentukan oleh UUD.
Selain dari pada itu banyak lagi tindakan yang menyimpang dari atau menyeleweng
terhadap ketentuan-ketentuan Undang-Undang Dasar.Selain dari itu terjadi
penyelewengan di bidang perundang-undangan di mana berbagai tindakan pemerintah
dilaksanakan melalui penetapan presiden yang memakai dekrit 5 Juli sebagai
sumber hukum.
Dalam pandangan A. Syafi’i Ma’arif demokrasi
terpimpin sebenarnya ingin menempatkan Soekarno sebagai Ayah dalam famili besar
yang bernama Indonesia dengan kekuasaan terpusat berada di tangannya. Dengan
demikian kekeliruan yang sangat besar dalam demokrasi terpimpin Soekarno adalah
adanya pengingkaran terhadap nilai-nilai demokrasi yaitu absolutisme dan
terpusatnya kekuasaan hanya paada diri pemimpin, sehingga tidak adaa ruang
kontrol sosial dan chek and balance dari legislatif terhadap eksekutif.
3. Demokrasi pada
periode 1965-1998
Landasan formil dari periode ini adalah
Pancasila, UUD 1945 serta ketetapan-ketetapan MPRS. Dalam usaha untuk
meluruskan kembali penyelewengan terhadap Undang-Undang Dasar yang telah
terjadi dalam masa demokrasi terpimpin, kita telah mengadakan tindakan
korektif. Ketetapan MPRS No. XIX/1966 telah menentukan ditinjaunya kembali
produk-produk legislatif dari masa demokrasi terpimpin dan atas dasar itu UU
No. 19/1964 telah diganti dengan suatu undang-undang baru (No. 14/1970) yang
menetapkan kembali azas “kebebasan badan-badan pengadilan.” Dewan perwakilan
rakyat gotong royong diberi beberapa hak kontrol, di samping ia tetap mempunyai
fungsi untuk membantu pemerintah. Pimpinannya tidak lagi mempunyai status
menteri.
Begitu pula tata tertib meniadakan pasal yang
memberi wewenang kepada presiden untuk memutuskan permasalahkan yang tidak
dapat dicapai mufakat antara badan legislatif. Selain dari itu beberapa hak
asasi diusahakan supaya diselenggarakan secara lebih penuh dengan memberi
kebebasan lebih luas kepada pers untuk menyatakan pendapat, dan kepala
partai-partai politik untuk bergerak dan menyusun kekuatannya, terutama
menjelang pemilihan umum 1971. Dengan demikian diharapkan terbinanya
partisipasi golongan-golongan dalam masyarakat di samping diadakan pembangunan
ekonomi secara teratur.
Beberapa perumusan tentang demokrasi pancasila
sebagai berikut :
a) Demokrasi dalam
bidang politik pada hakekatnya adalah menegakkan kembali azas-azas negara hukum
dan kepastian hukum.
b) Demokrasi dalam
bidang ekonomi pada hakekatnya adalah kehidupan yang layak bagi semua warga
negara.
c) Demokrasi dalam
bidang hukum pada hakekatnya bahwa pengakuan dan perlindungan HAM, peradilan
yang bebas yang tidak memihak.
Dengan
demikian secara umum dapat dijelaskan bahwa watak demokrasi pancasila tidak
berbeda dengan demokrasi pada umumnya. Karena demokrasi pancasila memandang
kedaulatan rakyat sebagai inti dari sistem demokrasi. Karenanya rakyat mempunyai
hak yang sama untuk menentukan dirinya sendiri. Begitu pula partisipasi politik
yang sama semua rakyat. Untuk itu pemerintah patut memberikan perlindungan dan
jaminan bagi warga negara dalam menjalankan hak politik.
Namun
demikian “demokrasi Pancasila” dalam rezim orde baru hanya sebagai retorika dan
gagasan belum sampai pada tataran praksis atau penerapan. Karena dalam praktik
kenegaraan dan pemerintahan, rezim ini sangat tidak memberikan ruang bagi
kehidupan berdemokrasi. Dengan demikian nilai-nilai demokrasi juga belum
ditegakkan dalam demokrasi pancasila Soeharto.
4. Demokrasi pada
periode 1998 – sekarang
Runtuhnya rezim otoriter orde baru telah
membawa harapan baru bagi tumbuhnya demokrasi di Indonesia. Bergulirnya
reformasi yang mengiringi keruntuhan rezim tersebut menandakan tahap awal bagi
transisi demokrasi Indonesia. Transisi demokrasi merupakan fase krusial yang
kritis, karena dalam fase ini akan ditentukan kemana arah demokrasi yang akan
dibangun. Selain itu dalam fase ini pula bisa saja terjadi pembalikkan arah
perjalanan bangsa dan negara yang akan menghantar Indonesia kembali memasuki
masa otoriter sebagaimana yang terjadi pada periode orde lama dan orde baru.
Sukses atau gagalnya suatu transisi demokrasi
sangat bergantung pada empat faktor kunci ; yakni, komposisi elite politik,
desain institusi politik, kultur politik atau perubahan sikap terhadap politik
dikalangan elite dan non elite, dan peran civil society (masyarakat madani).
Keempat faktor itu harus jalan secara sinergis dan berkelindan sebagai modal
untuk mengonsolidasikan demokrasi. Karena itu seperti yang dikemukakan oleh
Azyumardi Azra langkah yang harus di lakukan dalam transisi Indonesia menuju
demokrasi sekurang-kurangnya mencakup reformasi dalam tiga bidang besar ;
pertama, reformasi sistem yang menyangkut perumusan kembali falsafah, kedua, reformasi
kelembagaan yang menyangkut pengembangan dan pemberdayaan lembaga-lembaga
politik, ketiga, pengembangan kultur atau budaya politik yang lebih demokratis.
Transisi ini yang sekarang dialami bukan
pengalaman yang khas yang hanya dilalui Indonesia. Beberapa negara Amerika
latin pada dekade 80-an, dan juga negara-negara Asia Tenggara seperti Thailand
dan filipina pernah mengalami proses serupa. Transisi demokrasi slalu dimulai
dengan jatuhnya pemerintahan otoriter. Sedangkan panjang pendeknya masa
transisi tergantung pada kemampuan rezim demokrasi baru mengatasi problem
transisional yang menghadang. Problem paling mendasar yang di hadapi
negara-negara yang sedang mengalami transisi menuju demokrasi adalah
ketidakmampuan membentuk tata pemerintahan baru yang bersih, transparan dan
akuntabel. Akibatnya, legitimasi demokrasi menjadi lemah. Tanpa legitimasi yang
kuat, rezim demokrasi baru akan kehilangan daya tariknya.
Secara historis, semakin berhasil suatu rezim
dalam menyediakan apa yang diinginkan rakyat, semakin mengakar kuat dan dalam
keyakinan mereka terhadap legitimasi demokrasi. Semakin kuat keyakinan terhadap
legitimasi demokrasi dan komitmen untuk mematuhi aturan main sistem demokrasi,
semakin manjur rezim dalam merumuskan kebijakan untuk merespon
persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat.
Azyumardi Azra menyatakan bahwa demokratisasi
di Indonesia agaknya tidak bisa dimundurkan lagi. Proses suksesi kpresidenan
dengan jelas menandai berlangsungnya proses transisi ke arah demokrasi, setelah
demokrasi terpenjarakan sekitar 32 tahun pada rezim Soeharto dengan “demokrasi
pancasila”-nya dan 10 tahun pada masa rezim Soekarno dengan “demokrasi
terpimpin”-nya. Dengan demikian secara empirik demokrasi yang sesungguhnya di
Indonesia belum dapat terwujud. Karena itu membangun demokrasi merupakan
pekerjaan rumah dan agenda yang sangat
berat bagi pemerintah.
Menurut Azyumardi, setidaknya ada empat
prasyarat yang dapat membuat pertumbuhan demokrasi menjadi lebih memberi
harapan. Pertama, peningkatan kesejahteraan ekonomi rakyat secara keseluruhan.
Kedua, pemberdayaan dan pengembangan kelompok-kelompok masyarakat yang
favourable bagi pertumbuhan demokrasi seperti “kelas menengah”, LSM, para
pekerja dan sebagainya. Ketiga, hubungan internasional yang lebih adil dan
seimbang. Keempat, sosialisasi pendidikan kewargaan.[5]
G. Islam dan
Demokrasi
Salah satu isu
yang paling populer sejak dasawarsa abad ke-20 yang baru lalu adalah isu
demokratisasi. Di antara indikator paling jelas dari kepopuleran tersebut
adalah berlipat gandanya jumlah negara yang menganut sistem pemerintahan
demokratis. Namun demikian di tengah gemuruh proses demokratisasi yang terjadi
di belahan dunia, dunia islam sebagaimana dinyatakan oleh para pakar seperti
Larry Diamond, Juan J. Linze, Seymour Martin Lipset tidak mempunyai prospek
untuk menjadi demokratis serta tidak mempunyai pengalaman demokrasi yang cukup.
Hal senada juga dikemukakan oleh Samuel P. Huntington yang meragukan ajaran islam
sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi (Bahtiar Effendy, kata pengantar,
2002). Karena itu dunia islam dipandang tidak menjadi bagian dari gemuruhnya
proses demokratisasi dunia. Dalam bahasa Abdelwahab Efendi (pemikir sudan)
“angin demokratisasi memang berhembus ke seluruh penjuru dunia, namun tak ada
satupun daun yang dihembusnya sampai ke dunia muslim” (Mun’im A. Sirry, 2002).
Dengan demikian terdapat pesimisme berkaitan pertumbuhan dan perkembangan
demokrasi di dunia islam.
Perdebatan dan
wacana tentang hubungan antara islam dan demokrasi sebagaimana diakui oleh
Mun’im A. Sirry memang masih menjadi tema perdebatan dan wacana yang menarik
dan belum tuntas. Karena itu kesimpulan yang diberikan oleh para pakar di atas
bahwa islam tidak sesuai dengan demokrasi hanyalah bagian dari wacana yang
berkembang di kalangan para pakar politik islam ketika mereka mengkaji hubungan
islam dan demokrasi.
Berdasarkan
pemetaan yang dikembangkan oleh Jhon L.Esposito dan James P.Piscatory (sukron
kamil,2002) secara umum dapat dikelompokkan dalam 3 kelompok pemikiran yaitu:
a. Islam dan
demokrasi adalah 2 sistem politik yang berbeda. Islam tidak bisa
disubordinatkan dengan demokrasi. Islam merupakan sistem politik yang
self-sufficient. Hubungan ke duanya bersifat mutually exclusive. Islam
dipandang sebagai sistem politik alternatif terhadap demokrasi. Dengan demikian
islam dan demokrasi adalah dua hal yang berbeda, karena itu demokrasi sebagai
konsep barat tidak tepat untuk dijadikan sebagai acuan dalam hidup
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sementara islam sebagai agama yang
kaffah (sempurna) yang tidak saja mengatur persoalan teologi (akidah), dan
ibadah, melainkan mengatur segala aspek kehidupan umat manusia.
b. Islam berbeda
dengan demokrasi apabila demokrasi didefinisikan secara prosedural seperti
dipahami dan dipraktekan dinegara-negara maju (barat), sedangkan islam
merupakan sistem politik demokratis kalau demokrasi didefinisikan secara
subtantif, yakni kedaulatan ditanagan rakyat dan negara merupakan terjemahan
dari kedaulatan rakyat ini. Dengan demikian dalam pandangan kelompok ini
demokrasi adalah konsep yang sejalan dengan islam setelah diadakan penyesuaian
penafsiran terhadap konsep demokrasi itu sendiri.
c. Islam adalah
sistem nilai yang membenarkan dan
mendukung sistem politik demokrasi seperti yang diperaktikan negara-negara
maju. Di indonesia, pandangan yang ke 3 tampaknya yang lebih dominan karena
demokrasi sudah menjadi bagian integral sistem pemerintahan indonesia dan
negara-negara muslim lainnya.
Penerimaan
negara-negara muslim(dunia islam) terhadap demokrasi sebagaimana yang
dikemukakan oleh kelompok ke 3 tidak berarti bahwa demokrasi dapat tumbuh dan
berkembang dinegara muslim secara otomatis dan cepat. Belom tumbuh dan
berkembangnya demokrasi didunia islam bahkan yang terjadi adalah sebaliknya
dimana negara-negara muslim justru merupakan negara yang langka dalam
menerapkan demokrasi, sementara rezim otoriter menjadi trend dan dominan. Ada
beberpa alasan teoritis yang bisa menjelaskan tentang lambannya pertumbuhan dan
perkembanagan demokrasi didunia islam. Pertama, pemahaman doktrinal menghambat
praktek demokrasi. Hal ini disebabkan oleh kebanyakan kaum muslim yang
cenderung memahami demokrasi sebagai sesuatu yang bertentangan dengan islam.
Kedua, persoalan kultur. Demokrasi sebenarnya telah dicoba di negara-negara
muslim sejak paruh pertama abad 20 tapi gagal. Tampaknya ia tidak akan suskses
pada masa-masa mendatang, karena warisan kultural masyarakat(komunitas) muslim
sudah terbiasa dengan otokrasi dan ketaatan pasif. Ketiga, lambannya
pertumbuhan demokrasi didunia islam tak ada hubungan dengan teologi maupun
kultrul, melainkan lebih terkait dengan sifat alamiah demokrasi itu sendiri.
Untuk membangun demokrasi diperlukan kesungguhan, kesabaran dan diatas
segalanya adalah waktu.
Dengan
mempergunakan parameter yang sangat sederhana, pengalaman empirik demokrsi
hanya bisa ditemukan selama pemerintahan Rasulullah sendiri yang kemudian
dilanjutkan oleh 4 sahabatnya yang dikenal dengan jaman khulafa al rasyidin.
Setelah pemerintahan ke 4 sahabat tersebut menurut catatan sejarah sangat sulit
kita menemukan demokrasi didunia islam secara empirik sampai sekarang ini.[6]
H. Isu Jender dalam
Islam dan Demokrasi
Dewasa ini, isu
gender merupakan isu kontroversial yang
terkemuka dalam kancah perkembangan global.
Itu diindikasikan dengan ditetapkannya isu gender sebagai salah satu
dari delapan target “sasaran pembangunan milenium” yang disepakati oleh
beberapa negara di dunia, termasuk Indonesia. Isu gender berkaitan erat dengan
persoalan universal di mana “pemberdayaan perempuan” sebagai inti dari isu
tersebut. Dalam konteks ini, pemberdayaan perempuan tidak hanya terbatas pada
tataran psikologi dan moral, tetapi juga merambah pada sektor ekonomi, sosial,
dan politik (bahkan kebudayaan, serta pertahanan dan keamanan), dimana semua
itu di balut dalam bingkai nilai-nilai keadilan dan hak asasi manusia.
Dalam platform
pembangunan Indonesia, keadilan dan kesetaraan gender telah menjadi perhatian,
khususnya dalam dunia politik. Itu tercermin dengan kelahiran UU No.31 tahun
2002 tentang partai politik yang mempertegas arahan partisipasi politik
perempuan pada jalur-jalur lembaga politik. Di Indonesia, menurut data statistik,
jumlah populasi perempuan melebihi laki-laki. Tetapi sangat di sayangkan,
secara faktual keterwakilan perempuan dalam kancah politik berbanding terbalik.
Kesempatan dalam kiprah politik dan peran kepemimpinan perempuan sangat penting
untuk ditingkatkan, baik dalam kualitas maupun kuantitas.
Kebebasan
perempuan Indonesia dalam dunia politik merupakan jalan untuk merealisasikan
pemerintahan yang bernafaskan “demokrasi” dan “nilai-nilai islam.” Hal itu
mengingat dasar negara Indonesia (pancasila) berdasarkaan pada nilai-nilai
islam, salah satunya ketuhanan yang maha esa (sila pertama). Namun kondisi
negeri ini tidak kondusif untuk menjadi republik islam karena Indonesia
merupakan negara majemuk yang terdiri dari berbagai latar belakang, suku,
bangsa, agama, kepercayaan, dan keragaman lainnya.
Titik temu antara
demokrasi dan islam adalah “kebebasan”. Jadi kebebasan adalah unsur yang
terkandung atas sintesis antara demokrasi dan islam. Kebebasan perempuan dalaam
kedua hal tersebut dapat merealisasikan pemerintahan demokrasi islam dalam
menyokong pemberdayaan perempuan. Selain itu kebebasan perempuan, terutama dalam
ranah politik, akan mendorong peningkatan peran aktif perempuan dalam berbagai
bidang kehidupan. Dalam prespektif islam, peran perempuan ditempatkan sangat
strategis. Seperti termaktub dalam sebuah hadis Rasulullah Saw, “perempuan itu
ibarat tiang negara, manakala baik (berkualitas) perempuan di suatu negara,
maka baiklah negara itu. Manakala rusak kaum perempuannya, rusaklah negara
itu.”
Adapun hal esensial
yang harus diperjuangkan oleh perempuan sesungguhnya bukanlah menuntut hak
perempuan, tapi membangun kesadaran. Karena penuntutan hak bertentangan dengan
kaidah logika ; apabila perempuan menuntut hak berarti perempuan merasa ada hak
yang dirampas oleh pihak lain di luar dirinya, baik disebabkan oleh istem
maupun individu. Hal ini mengindikasikan bahwa sejak awal perempuan
mengafirmasi posisinya sebagai subordinat. Kesadaran pada akhirnya akan
mengarahkan pada pemberdayaan perempuan karena mereka yang lebih mengetahui
permasalahan yang berhubungan dengan dirinya.[7]
Dalam islam
seorang perempuan bukan tidak diperbolehkan pemimpin namun dianjurkan untuk
tidak menjadi pemimpin karena beberapa sifat dan kebiasaan perempuan. Namun
dalam demokrasi, hal yang diambil setelah tidak dicapai kata mufakat adalah
suara terbanyak. Dan suara terbanyak tidak mengharuskan yang dipilih itu
perempuan atau laki-laki.
[1] Ruhpina,L.Said,2005,menuju
demokrasi pemerintahan,makalah,fakultas hukum Universitas Mataram,Mataram
[2] Winarno,S.PD.,M.SI,2014,Paradigma
baru pendidikan kewarganegaraan,bumi aksara,Jakarta
[3] Noor Ms Bakry,2009,pendidikan kewarganegaraan,Yogyakarta
[4] Winarno,S.PD.,M.SI,2014,Paradigma
baru pendidikan kewarganegaraan,bumi aksara,Jakarta
[5] Rosyada Dede, Ubaidillah A, Rozzak Abdul, Sayuti Whdi, Salim
Arskal,2003,pendidikan kewarganegaraan :
demokrasi, HAM dan masyarakat madani, prenada media,Jakarta timur.
[6] Rosyada Dede, Ubaidillah A, Rozzak Abdul, Sayuti Whdi, Salim
Arskal,2003,pendidikan kewarganegaraan :
demokrasi, HAM dan masyarakat madani, prenada media,Jakarta timur.
[7] Wa ode Zainab Zilullah Toresano
Tidak ada komentar:
Posting Komentar