BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1. Pengembangan dan Penerapan Filsafat
Ilmu
sebagai bagian integral dari
filsafat secara keseluruhan perkembangannya tidak bisa dilepaskan dari sejarah
perkembangan filsafat itu sendiri secara keseluruhan. Menurut Lincoln Cuba,
sebagai yang dikutip oleh Ali Abdul Azim, bahwa kita mengenal tiga babakan perkembangan
paradigma dalam filsafat ilmu di Barat yaitu era prapositivisme, era
positivisme dan era pasca modernisme. Era prapositivisme adalah era paling
panjang dalam sejarah filsafat ilmu yang mencapai rentang waktu lebih dari dua
ribu tahun. Dalam uraian ini, penulis cenderung mengklasifikasi perkembangan
filsafat ilmu berdasarkan ciri khas yang mewarnai pada tiap fase perkembangan.
Dari sejarah panjang filsafat, khususnya filsafat ilmu, penulis membagi tahapan
perkembangannya ke dalam empat fase sebagai berikut:
1. Filsafat Ilmu zaman kuno, yang
dimulai sejak munculnya filsafat sampai dengan munculnya Renaisance .
2. Filsafat Ilmu sejak munculnya
Renaisance sampai memasuki era positivism.
3. Filsafat Ilmu zaman Modern, sejak
era Positivisme sampai akhir abad kesembilan belas.
4. .Filsafat Ilmu era kontemporer yang
merupakan perkembangan mutakhir Filsafat Ilmu sejak awal abad kedua sampai
sekarang.
Perkembangan Filsafat ilmu pada ke empat fase tersebut akan
penulis uraikan dengan mengedepankan
aspek-aspek yang mewarnai perkembangan filsafat ilmu di masanya sekaligus yang
menjadi babak baru dan ciri khas fase tersebut yang membedakannya dari
fase-fase sebelum atau sesudahnya. Di samping itu penulis juga akan mengungkap
tentang peran filosof muslim dalam perkembangan filsafat ilmu ini, walaupun
bukan dalam suatu fase tersendiri. [1]
Penerapan Filsafat dan Ilmu dalam
kehidupan sehari-hari. Konstruksi Masa Depan Ilmu Dan Teknologipenerapan ilmu
pengetuan dalam kehidupan manusia membawa kecenderungan berpikir bahwa ilmu pengetahuan
dan teknologi dapat menyelesaikan segala-galanya. Padahal terlalu sering
terjadi bahwa problem yang ditimbulkan oleh penerapan ilmu pengetahuan dan
pemanfaatan teknologi dalam kehidupan manusia sehari-hari bukanlah
problem-problem teknis ilmiah, melainkan problem yang mempunyai kandungan
moral. Masyarakat hidup dari, dengan, dan melalui hasil-hasil ilmu pengetahuan,
tetapi ada sebuah juraang ilmu pengetahuan dan teknologi yang mungkin membuat
semua pencapaian material dan ( sebagian ) yang non-material di sekitar kita.
Kemajuan yang dihasilkan oleh ilmu pengetahuan dalam
beberapa dasawarsa terakhir ini serta keberhasilan menerapkan menerapkan
pandangan-pandangan dan temuan-temuannya, bukanhanya memperluas cakrawala dan
memperdalam kepahaman manusia mengenai alam semesta, tetapi juga telah
meningkatkan kemampuan kontrol manusia atas kekuatan alam bahkan atas kesadaran
manusia. Kehidupan manusia membawa kecenderungan berpikir bahwa ilmu
pengetahuan dan teknologi dapat menyelesaikan segala-galanya. Padahal terlalu
sering terjadi bahwa problem yang ditimbulkan oleh penerapanilmu pengetahuan
dan pemanfaatan teknologi dalam kehidupan manusia sehari-hari bukanlah
problem-problem teknis ilmiah, melainkan problem yang mempunyai kandungan
moral. Masyarakat hidup dari,dengan, dan melalui hasil-hasil ilmu pengetahuan,
tetapi ada sebuah jurang yang dalam sekali antara apa yang sehari-hari bukanlah
problem-problem teknis ilmiah, melainkan problem yang mempunyai kandungan
moral. Masyarakat hidup dari, dengan, dan melalui hasil-hasil ilmu pengetahuan,
tetapi ada sebuah jurang yang dalam sekali antara apa yang secara teoretis
dimengerti oleh masyarakat, dapat diharapkan dan apa yang sungguh-sungguh
tertera dalam perwujudannya.
Ketika ilmu pengetahuan dan metodenya diperkenalkan
kemasyarakat baik melalui pendidikan formal maupun non-formal. Berbicara
tentang landasan di Era sekarang ini seringkali disebut-sebut sebagai era
informasi, namun sesungguhnya di belakang pernyataan ini secara implisit
terkandung pengertian mengenai era ilmu pengetahuan dan teknologi yang mungkin
membuat semua pencapaian material dan ( sebagian ) yang non-material di sekitar
kita.Kemajuan yang dihasilkan oleh ilmu pengetahuan dalam beberapa dasawarsa
terakhir ini serta keberhasilan menerapkan menerapkan pandangan-pandangan dan
temuan-temuannya, bukan hanya memperluas cakrawala dan memperdalam kepahaman
manusia mengenai alam semesta, tetapi juga telah meningkatkan kemampuan kontrol
manusia atas kekuatan alam bahkan atas kesadaran manusia lainnya. Kemajuan ilmu
pengetahuan telah memberikan kepadamanusia kekuasaan yang semakin besar atas
realitas.Tidak dapat disangkal bahwa ilmu pengetahuan danteknologi membawa juga
bersamanya berbagai problem baru yang memprihatinkan yang menuntut
kehendakuntuk menyelesaikan, serta sering kali tidak tertunda.
Kedahsyatan penerapan ilmu pengetahuan dalam kehidupan
manusia membawa kecenderungan berpikir bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi
dapat menyelesaikan segala-galanya.Padahal terlalu sering terjadi bahwa problem
yang ditimbulkan oleh penerapanilmu pengetahuan dan pemanfaatan teknologi dalam
kehidupan manusia sehari-hari bukanlah problem-problem teknis ilmiah, melainkan
problem yang mempunyai kandungan moral. Masyarakat hidup dari, dengan, dan
melalui hasil-hasil ilmu pengetahuan, tetapi ada sebuah jurang yang dalam
sekali antara apa yang secara teoretis dimengerti oleh masyarakat, dapat
diharapkan dan apa yang sungguh-sungguh tertera dalam perwujudannya.[2]
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengembangan teori dan alternative
?
2. Bagaimana etika dalam pengembangan
ilmu dan teknologi ?
3. Bagaimana jalinan fungsional agama,
filsafat dan ilmu ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengembangan
Teori dan Alternative Metodologinya
Metodologi merupakan hal yang
mengkaji perurutan langkah-langkah yang ditempuh supaya pengetahuan yang
diperoleh memenuhi pengetahuan yang ilmiah. Untuk memahami perinsip-perinsip
metode filsafat perlu dibahas pengertian metodologi, unsur-unsur metodologi,
dan beberapa pandangan tentang prinsip metodologi bagi filsuf.
Metodologi dapat diartikan sebagai
ilmu yang membicarakan tentang metode-metode. Metode adalah cara bertindak
menurut aturan tertentu.
Unsur-unsur Metodologi menurut Anton
Baker dan Ahmad Charris Zubair :
1. Interpretasi (Menafsirkan)
2. Induksi dan Deduksi
3. Koherensi Intern
4. Holistis
5. Kesinambungan Historis
6. Idealisasi
7. Komperasi
8. Heuristika
9. Analogi
10. Deskripsi
Kajian filsafat ilmu :
1. Ontologi (hakikat apa yang dikaji)
Ontologi membahas keberadaan sesuatu yang bersifat kongkrit
secara kritis. Beberapa aliran dalam bidang antologi, yakni realism naturalisme
dan empirisme. Secara ontologism, objek dibahas dari keberadaannya, apakah ia
materi atau bukan, guna membentuk konsep tentang alam nyata (universal ataupun
spesifik). Ontologi ilmu meliputi apa hakikat ilmu itu, apa hakikat kebenaran
dan kenyataan yang inheren dengan pengetahuan ilmiah, yang tidak terlepas dari
persepsi filsafat tentang apa dan bagaimana yang ada. Persoalan yang dialami
oleh ontology ilmu misalnya apakah objek yang ditelaah ilmu? Bagaimana wujud
hakiki objek tersebut? Bagaimana hubungan objek tersebut dengan daya tangkap
manusia (seperti berpikir, merasa, dan mengindra) yang membuahkan pengetahuan?
Pemahaman ontologik meningkatkan pemahaman manusia tentang sifat dasar berbagai
benda yang akhirnya akan menentukan pendapat bahkan keyakinannya mengenai apa
dan bagaimana yang ada sebagaimana manifestasi kebenaran yang dicarinya.
2. Epistimologi
Epistimologi adalah pengetahuan sistematik mengenai
pengetahuan. Ia merupakan cabang filsafat yang membahas tentang terjadinya
pengetahuan, sumber pengatahuan, asal mula pengetahuan, sarana, metode, atau
cara memperoleh pengetahuan, validitas dan kebenaran pengetahuan ilmiah.
Perbedaan landasan ontologik menyebabkan perbadaan dalam menentukan metode yang
dipilih dalam upaya memperoleh pengetahuan yang benar. Akal, akal budi,
pengalaman atau kombinasi akal dan pengalaman, intuisi, merupakan sarana
mencari pengetahuan yang dimaksud dalam epistemologik, sehingga dikenal model-model
epistemologik seperti rasionalisme, empirisme, rasionalisme kritis,
positivisme, fenomenologi, dan sebagainya. Epistemologi juga membahas bagaimana
menilai kelebihan dan kelemahan suatu model epistemologik beserta tolak ukurnya
bagi pengetahuan ilmiah, seperti teori koherensi, korespondesi, pragmatis, dan
teori intersubjektif.
Pengetahuan merupakan daerah persinggungan antara benar dan
dipercaya. Pengetahuan bisa diperoleh dari akal sehat yaitu melalui pengalaman
secara tidak sengaja yang bersifat sporadic dan kebetulan sehingga cenderung
bersifat kebiasaan dan pengulangan, cenderung bersifat kabur dan samar karena
merupakan pengetahuan yang tidak teruji. Ilmu pengetahuan (sains) diperoleh
berdasarkan analisis dengan langkah-langkah yang sistematis (metode ilmiah)
menggunakan nalar yang logis. Sarana berpikir ilmiah adalah bahasa, matematika,
dan statistika. Metode ilmiah menggabungkan cara berpikir deduktif dan induktif
sehingga menjadi jembatan penghubung antara penjelasan teoritis dengan
pembuktian yang dilakukan secara empiris. Secara rasional, ilmu menyusun
pengetahuannya secara konsisten dan kumulatif, sedangkan secara empiris ilmu
memisahkan pengetahuan yang sesuai dengan fakta dari yang tidak. Dengan metode
ilmiah berbagai penjelasan teoritis atau juga naluri yang dapat diuji, apakah
sesuai dengan kenyataan empiris atau tidak.
Kebenaran pengetahuan dapat dilihat dari kesesuaian artinya
dengan fakta yang ada, dengan putusan-putusan lain yang telah diakui
kebenarannya dan tergantung kepada berfaedah tidaknya teori tersebut bagi
kehidupan manusia. Jika seseorang ingin membuktikan kebenaran suatu pengetahuan
maka, cara, sikap, dan sarana yang digunakan untuk membangun pengetahuan
tersebut harus benar. Apa yang diyakini atas dasar pemikiran saja tidak benar
karena ada sesuatu di dalam nalar kita yang salah. Demikian pula apa yang kita
yakini karena kita amati belum tentu benar karena penglihatan kita mungkin saja
mengalami penyimpangan. Itulah sebabnya ilmu pengetahuan selalu berubah-ubah
dan berkembang.
3. Aksiologi Ilmu (nilai kegunaan ilmu)
Meliputi nilai-nilai kegunaan yang
bersifat normatif dalam pemberian makna terhadap kebenaran atau kenyataan yang
dijumpai dalam seluruh aspek kehidupan. Niai-nilai kegunaan ilmu ini juga wajib
dipatuhi seorang ilmuan. Baik dalam melakukan penelitian maupun di dalam
menerapkan ilmu. Ilmu khusus yang sesuai dengan obyek kajiannya antara lain:
Ø Metaphysica Generalis
Ø Theodicia Naturalis
Ø Anthropologia Filosofica
Ø Cosmologi
Ø Filsafat Biologie
Ø Filsafat Psichologi
Ø Filsafat Sosiologie
Ø Epistimologi
Ø Filsafat Etica
Ø Filsafat Estetika.[3]
B. Etika dalam Pengembangan Ilmu dan
Teknologi
Etika berarti moral sedangkan etiket berarti sopan santun. Dalam
bahasa Inggeris dikenal sebagai ethics dan etiquette. Etika disebut juga filsafat
moral adalah cabang filsafat yang berbicara tentang praxis (tindakan) manusia.
Etika tidak mempersoalkan keadaan manusia, melainkan mempersoalkan bagaimana
manusia harus bertindak. Tindakan manusia ini ditentukan oleh bermacam-macam
norma. Norma ini masih dibagi lagi menjadi norma hukum, norma moral,
noprma agama dan norma sopan santun. Norma hukum berasal dari hukum dan
perundang-undangan, norma agama berasal dari agama sedangkan norma moral
berasal dari suara batin. Norma sopan santun berasal dari kehidupan sehari-hari
sedangkan norma moral berasal dari etika. Etika memang bukanlah
bagian dari ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Etika lebih merupakan
sarana untuk memperoleh orientasi kritis yang berhadapan dengan moralitas.
Kendati demikian etika tetaplah berperan penting dalam IPTEK. Penerapan IPTEK
dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari memerlukan adanya dimensi etis
sebagai pertimbangan yang terkadang ikut berpengaruh dalam proses perkembangan
IPTEK selanjutnya.
Hakikatnya, IPTEK dipelajari untuk mengembangkan
dan memperkokoh eksistensi manusia, dan bukan sebaliknya, menghancurkan
eksistensi manusia dan justru menjadikan manusia budak teknologi. Oleh karena
itu, tanggung jawab etis diperlukan untuk mengontrol kegiatan dan penggunaan
IPTEK. Dalam kaitan hal ini, terjadi keharusan untuk memperhatikan kodrat
manusia, martabat manusia, menjaga keseimbangan ekosistem, bertanggung jawab
pada kepentingan umum, kepentingan generasi mendatang, dan bersifat universal.[1] Keberadaan
tanggung jawab etis tidak bermaksud menghambat kemajuan IPTEK. Justru dengan
adanya dimensi etis yang mengendalikan, kemajuan IPTEK akan semakin berlomba-lomba
meningkatkan martabat manusia sebagai “tuan” teknologi dan bukan hamba
teknologi. Tanggung jawab etis juga diharapkan mampu menginspirasi, memacu, dan
memotivasi manusia untuk mengembangkan teknologi yang IPTEK yang tidak
mencelakakan manusia serta aman bagi lingkungan hidup.
Pada awalnya teknologi diciptakan untuk
meringankan dan membebaskan manusia dari kesulitan hidupnya. Namun manusia
justru terjebak dalam kondisi konsumerisme yang semakin meningkatkan
ketergantungan manusia akan teknologi dan parahnya, menjadikan manusia budak
teknologi. Manusia semestinya memajukan IPTEK sesuai dengan nilai intrinsiknya
sebagai pembebas beban kerja manusia. Bila tidak sesuai, maka teknologi justru
akan menimbulkan ketidakadilan dalam masyarakat, karena ada yang diuntungkan
dan ada yang dirugikan. Selain itu, martabat manusia akan semakin direndahkan
dengan menjadi budak teknologi, berbagai penyakit sosial merebak di masyarakat,
hingga pada fenomena dehumanisasi ketika manusia kehilangan peran dan fungsinya
sebagai makhluk spiritual.
Apakah kemajuan iptek itu merendahkan atau
meningkatkan keberadaan manusia sangat ditentukan oleh manusia itu sendiri,
karena IPTEK sendiri merupakan salah satu dari 7 cultural universal yang
dihasilkan manusia yang terdiri dari: sistem mata pencaharian, sistem
kepercayaan, bahasa, sistem kemasyarakatan, kesenian, sistem ilmu pengetahuan,
dan sistem peralatan hidup. Oleh karena itu, perkembangan IPTEK haruslah
diikuti kedewasaan manusia untuk mengerti mana yang baik dan yang buruk, mana
yang semestinya dan yang tidak semestinya dilakukan dalam pengembangan IPTEK.
Di sinilah peran etika untuk ikut mengontrol perkembangan IPTEK agar tidak
bertentangan dengan niilai dan norma dalam masyarakat, serta tidak merugikan
manusia sendiri. Etika, terutama etika keilmuan sangatlah penting dalam
kehidupan ilmiah karena etika keilmuan menyoroti kejujuran, tanggung jawab,
serta bebas nilai atau tidak bebas nilai dalam ilmu pengetahuaan.
Berbicara masalah bebas nilai atau tidaknya ilmu
pengetahuan sangatlah relevan dengan apa yang terjadi di zaman Renaissance,
yang terkenal dengan paham Aufklarung yang mendewakan rasionalitas manusia.
Pada zaman kegelapan (Dark Age), gereja senantiasa mengatur
dan mengendalikan kaum cendekiawan sehingga mereka merasa sangat terkekang.
Setiap teori atau penemuan-penemuan baru hanya dapat dipergunakan dengan
persetujuan dan pengakuan gereja. Sejak saat itulah para cendekiawan Barat
beranggapan bahwa nilai dan norma hanya menghambat kemajuan IPTEK. Pemahaman
rasional tentang dirinya dan alam mengantar manusia pada suatu pragmatisme
ilmiah, dimana perkembangan ilmu dianggap berhasil ketika memiliki
konsekuensi-konsekuensi pragmatis. Keadaan ini pula yang menggiring ilmuwan
untuk menjaga jarak terhadap problem nilai secara langsung.
Untuk menentukan bahwa ilmu itu bebas nilai atau
tidak, maka diperlukan sekurang-kurangnya 3 faktor sebagai indikator. Pertama,
ilmu tersebut harus bebas dari pengandaian dan pengaruh faktor eksternal
seperti politik, ideologi, agama, budaya, dll. Kedua, perlunya
kebebasan usaha ilmiah demi terjaminnya otonomi ilmu pengetahuan.Ketiga,
tidak luputnya penelitian ilmiah dari pertimbangan etis yang selalu dituding
menghambat kemajuan ilmu pengetahuan. Indikator pertama dan kedua
memperlihatkan upaya ilmuwan untuk menjaga objektivitas ilmiah ilmu
pengetahuan, sedangkan indikator ketiga ingin menunjukkan adanya faktor X yang
hampir mustahil dihindarkan dari perkembangan ilmu pengetahuan, yaitu
pertimbangan etis.[5] Selain 3 indikator
tadi, masih ada indikator keempat yang amat sulit ditolak oleh ilmu
pengetahuan, yakni kekuasaan. Perkembangan IPTEK selalu sarat dengan berbagai
kepentingan, terutama kepentingan kekuasaan yang kadang memunculkan konflik
kepentingan antara ilmuwan dengantruth claim melawan
penguasa dengan authority claimnya. Dan di negara
berkembang, konflik itu hampir selalu dimenangkan pihak penguasa.
Ilmu sendiri, baik secara teoritis maupun
praktis tidak pernah bebas dari nilai. Selalu ada kepentingan yang bermain di
dalam ilmu itu. Namun, pertimbangan etis semestinya hanya berperan sebagai
rambu-rambu saja, dan bukannya mengekang perkembangan IPTEK tersebut. Kesalahan
Barat adalah mereka menganggap bahwa ilmu selalu bebas nilai dan sudah
semestinya ilmu pengetahuan tidak berhubungan dengan agama (sekularisme). Akan
tetapi, intervensi nilai yang berlebihan ke dalam ilmu pengetahuan juga akan
mengekang kreativitas manusia dalam berpikir. Ilmu pengetahuan semata-mata
hanya menjadi alat dari berbagai macam kepentingan, terutama kepentingan
ideologis dan politik.
Karena IPTEK tidaklah bebas nilai, maka sudah
sewajarnya kita mengkuti perkembangannya, asalkan jangan sampai kita terjebak
rasa ketergantungan pada teknologi. Teknologi hanyalah alat untuk membantu
meringankan beban kerja kita sehingga jangan sampai justru kita menjadi malas
dan diperbudak teknologi. Dalam perkembangan teknologi komunikasi dan
komunikasi kontemporer sendiri, sudah begitu banyak media yang dikembangkan
untuk memperlancar komunikasi dan memperpendek jarak antar manusia. Sebut saja
komputer, jaringan telepon selular yang dibantu adanya satelit komunikasi,
serta internet yang mengusung Super Highway Communication dengan electronic
mail. Selain itu, telepon selular di beberapa negara pun sudah dilengkapi
fasilitas 3G atau bahkan 4G yang memungkinkan manusia mengakses data dalam
waktu yang amat singkat.
Berbagai kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
telah mengantar kita pada kemudahan-kemudahan untuk mengerjakan pekerjaan
sehari-hari baik di rumah, sekolah, maupun kantor. Namun, jangan sampai justru
dengan segala fasilitas itu kita menjadi diperbudak oleh alat. Kita adalah
manusia yang bisa berpikir dan menciptakan berbagai macam peralatan. Oleh
karena itu hendaknya kita menciptakan teknologi sesuai dengan keadaan dan
kebutuhan manusia, bukannya membuat manusia harus menyesuaikan diri dengan
teknologi.
Jenis-jenis etika:
1. Etika sebagai Praktis
Ø Nilai-nilai dan
norma-norma moral sejauh dipraktekkan atau justru tidak dipraktekkan walaupun
seharusnya dipraktekkan.
Ø Apa yang dilakukan
sejauh sesuai atau tidak sesuai dengan nilai dan norma moral.
2. Etika sebagai Refleksi
Ø Pemikiran moral berpikir
tentang apa yang dilakukan dan khususnya tentang apa yang harus dilakukan atau
tidak boleh dilakukan.
Ø Berbicara tentang etika
sebagai praksis atau mengambil praksis etis sebagai objeknya.
Ø Menyoroti dan menilai
baik buruknya perilaku orang.
Ø Dapat dijalankan pada
taraf populer maupun ilmiah.
Etika dalam Ilmu dan Teknologi,
Baik agama maupun filsafat pada dasarnya mempunyai kesamaan, keduanya memiliki
tujuan yang sama, yakni mencapai kebenaran yang sejati. Agama yang dimaksud
disini adalah agama samawi yaitu agama yang diwahyukan tuhan kepada nabi dan
rasul-Nya. Dibalik persamaan itu terdapat pula perbedaan antara keduanya. Dalam
agama ada beberapa hal yang amat penting, misalnya Tuhan, kebajikan, baik dan
buruk, surga dan neraka, dan lain-lain. Hal-hal tersebuat diselidiki pula oleh
filsafat. Oleh karena hal-hal tersebut ada atau paling tidak mungkin ada.
Oleh
karena filsafat itu menyelidiki sesuatu yang ada dan mungkin ada, dapat saja
agama yang terang ada itu difilsafatkan, artinya ditinjau secara filsafat. Pun
etika yang menyelidiki tingkah laku manusia dari sudut baik buruknya tentu sama
pula dengan hal-hal keagamaan.
Agama
sebagai suatu hal yang ada dapat diilmukan syarat ilmiah dan cara kerjanya
sekali dipakai dalam ilmu agama itu maka ada bermacam-macam ilmu yang obyeknya
suatu aspek dari agama adalah ilmu perbandingan agama, ada psikologi agama, ada
fenomenologi agama, ada sosiologi agama. Apa yang menjadi obyeknya
masing-masing yang kami utarakan sekarang ini, cukuplah sudah diajukan memang
ada ilmu-ilmu yang menyelidiki agama (aspeknya) secara ilmiah.
Alasan
filsafat untuk menerima kebenaran melainkan penyelidikan sendiri, hasil pikiran
belaka. Filsafat tidak mengingkari atau mengurangi wahyu, tetapi ia tidak
mendasarkan penyelidikanya pada wahyu. Ada juga beberapa hal yang masuk
kewilayah agama yang diselidiki pula oleh filsafat. Kalau demikian, mungkinkah
ada pertentangan antar agama dan filsafat? Pada dasarnya tidak, karena kalau
kedua-duanya mempunyai kebenaran, maka kebenaran itu satu dan sudah barang
tentu sama. Tidak mungkin ada sesuatu yang pada prinsipnya benar, juga tidak
benar. Tegasnya bahwa lapangan filsafat dan agama dalam beberapa hal mungkin
sama, akan tetapi dasarnya amat berlainan. Filsafat berdasarkan pada pikiran
belaka, agama berdasarkan wahyu ilahi. Agama sering disebut juga kepercaan,
alasanya karena yand diwahyukan oleh Tuhan haruslah dipercayai.
Dalam
filsafat, untuk mendapatkan kebenaran hakiki manusia harus mencarinya sendiri
dengan mempergunakan alat yang dimilikinya berupa segala potensi lahir dan
batin. Sedangkan dalam agama, untuk mendapatkan kebenaran hakiki itu manusia
tidak hanya mencarinya sendiri, melainkan ia harus menerima hal-hal yang
diwahyukan Tuhan, dengan kata singkat percaya atau iman.
Walaupun
antara kebenaran yang disajikan oleh agama mungkin serupa dengan kebenaran yang
dicapai oleh filsafat, tetapi tetap agama tidak bisa disamakan dengan filsafat.
Perbedaan ini disebabkan cara pandang yang berbeda. Disatu pihak agama
beralatkan kepercayaan, dilain pihak filsafat berdasarkan penelitian yang
menggunakan potensi manusiawi, dan meyakininya sebagai satu-satunya alat ukur
kebenaran, yaitu akal manusia.
Diantara faktor-faktor yang mengakibatkan suasana etis di
zaman kita sekarang. Perkembangan pesat dan
menakjubkan di bidang ilmu dan teknologi pasti mempunyai kedudukan penting.
Dengan “ilmu” di sini terutama dimaksudkan ilmu alam. Dengan teknologi
dimengerti penerapan ilmu alam yang memungkinkan kita menguasai dan
memamfaatkan daya-daya alam. Di antara masalah-masalah etis berat yang dihadapi
sekarang ini tidak sedikit berasal dari hasil kadang-kadang spektekuler yang di
capai ilmu dan teknologi modern. Di bandingkan dengan generasi sebelumnya,
perkembangan ilmiah dan teknologis itu mengubah banyak sekali dalam hidup
manusia, antara lain juga menyajikan masalah-masalah etis yang tidak pernah
terduga sebelumnya. Tentu saja topic yang begitu luas dan rumit tidak mungkin
di uraikan disini dengan lengkap dan menurut segala aspeknya. Kita harus
membatasi diri pada beberapa catatan saja. [4]
C.
Jalinan Fungsional Agama, Filsafat, dan Ilmu
Banyak orang yang termenung karena ia menghadapi kejadian
yang membingungkannya, atau karena ia ingin tahu dan memikirkan kejadian itu.
Lantas terbetik di dalam benaknya berbagai pertanyaan, apakah kehidupa itu ?
mengapa aku berada disini ? mengapa ada sesuatu ? apakah kedudukan kehidupan dan
alam yang besar ini ?
Semua persoalan itu adalah falsafi. Usaha untuk mendapatkan
jawaban atau pemecahan terhadapnya telah menimbulkan teori-teori dan system
pemikiran seperti idealisme, dan fenomenologi. Pada perkembangan selanjutnya,
ilmu terbagi dalam beberapa di siplin yang satu dengan yang lainnya. Berikut
ini akan kita bahas jalinan fungsional ilmu filsafat dan agama.
1. Relasi filsafat dan ilmu
Filsafat dan ilmu dalam penggunannya
dalam beberapa hal saling tumpah tindih, bahasa yang di pakai dalam filsafat
berusaha untuk berbicara mengenai ilmu dan bukunya di dalamnya ilmu, walaupun
begitu apa yang harus di katakana oleh sesorang ilmuan mungkin penting pula
bagi seorang filsuf. Satu hal yang tidak dapat di lakukan oleh seseorang filsop
ialah mencoba memberitahukan kepada seseorang ilmuan mengenai apa yang harus di
temukannya. Filsafat dan ilmu bertemu pada obyek material, dan yang melainkan
obyek formanya. Batasnya jadi terang akan tetapi dalam prakteknya sering juga
ada kekacauan, ini tidak mengherankan sebab yang di selidiki memang sama,
sedangkan yang menyelidiki itu sama juga ialah manusia. Beda antara ilmu dan
filsafat ternyata juga dari cara berfikir manusia. Seperti kami katakan lebih
dulu ilmu berkisar pada fakta. Fakta itu khusul, namun ilmu harus berlaku umum
dalam hukum-hukumnya. Hukum-hukum itu berlaku untuk umum, rumusan-rumusan hukum
dalam ilmu alam, ekonomi serta ilmu hukum dan sebagainya di ajukan dalam
keumumannya. Ilmu memang dalam konklusinya yang di tuangkan dalam putusannya
melalui yang umum, tentang binatang pada umumnya, tentang manusia pada umumnya,
tentang bilangan dan lain-lain, tidaklah mengenai yang khusus. Adapun realitas
yang di hadapi ilmu itu selalu khusus , satu persatu ( individual ).
Dalam kekhususannya itu realitas
bermacam-macam. Dalam bermacamnya hal-hal yang individual itu di sebut konkrit,
artinya hal itu terlibat dalam dan
dengan sifat-sifat seluruhnya yang dimilikinya. Yang konkret itu lalu tertentu,
yang satu lain daripada yang lain. Tetapi bagaimanapun lainnya mungkinlah yang
berlainan itu dapat dapat dimasukkan dalam satu macam. Aspek yang umum itulah
yang tidak konkret, lalu di sebut abstrak yang di ajukan oleh ilmu. Keumuman
dalam ilmu itu juga tidak mutlak, tergantung dalam ilmu itu sendiri yang sama
dalam bidang hal-hal yang hendak di ajukan, lalu ada keumuman dalam ruang,
dalam hidup, dalam aturan dan sebagainya. Namun bagi ilmu manapun juga, jika
kebenaran pendapat atau hukumnya hendak di buktikan haruslah melalui fakta
pengalaman, seperti kami bentangkan di atas sehingga harus di katakan bahwa
ilmu membatasi diri pada pengalaman. Adafun sifat ilmiah yang menuntut keumuman
itu ternyata dimiliki ilmu demi kemampuan manusia untuk hanya menghiraukan yang
umum saja dalam bermacaam-macam, jadi aspek obyek sajalah yang di perhatikan.
Itu sebabnya pula walaupun ilmu hendak mencapai yang umum, memang ada
sifat-sifat yang tidak di abstrakkan, jadi tidak masuk ilmu tertentu. Oleh
karena obyek yang komplit itu sifatnya hampir-hampir tidak terbatas,
kemungkinan jumlah ilmu boleh dikatakan tidak terbatas juga. Kalu ilmu
mengadakan abstraksi sampai kepada adanya obyek itu maka boleh dan haruslah
ilmu disebut mencari keterangan yang sedalam-dalamnya untuk yang ada dan yang
mungkin ada. Ilmu yng sampai pengabstrakan demikian itulah yang kami sebut
filsafat. Filsafat itu lalu umum seumumnya, juga tidak membatasi diri dalam
pengalaman atau apapun juga.
Walau demikian antara ilmu dan
filsafat ada hubungannya. Filsafat memang dalam penyelidikannya mulai dari apa
yang di alami manusia, karena tidak ada pengetahuan kalau tidak bersentuha
lebih dulu dengan indera. Sedangkan ilmu
yang hendak menelaah hasil penginderaan itu, tidak mungkin mengambil keputusan
dengan menjalankan pikiran tanpa mempergunakan dalil dan hukum pikiran yang
mungkin dialaminya. Sebaliknya filsafatpun memerlukan data dari ilmu, jika
misalnya ahli filsafat manusia hendak menyelidiki manusia itu serta hendak menentukan
apakah manusia itu, ia memang harus mengetahui gejala tindakan manusia. Dalam
hal ini yang bernama psikologi akan menolong filsafat itu sebaik-baiknya dengan
hasil penyelidikannya. Kesimpulan filsafat tentang kemanusiaan akan sangat
pincang dan mungkin jauh dari kebenaran jika tidak menghiraukan hasil
psikologi.
A. Persamaan Dan Perbedaan Filsafat Dan
Ilmu
Persamaan filsafat dan ilmu adalah sebagai berikut :
Ø Keduanya mencari rumusan yang
sebaik-baiknya menyelidiki obyek selengkap-lengkapnya sampai keakar-akarnya.
Ø Keduanya memberikan pengertian
mengenai hubungan atau koheren yang ada antara kejadian-kejadian yang kita
alami dan mencoba menunjukkan sebab-sebabnya.
Ø Keduanya hendak memberikan sintesis
yaitu suatu pandangan yang bergandengan
Ø Keduanya mempunyai metode dan system
Ø Keduanya hendak memberikan
penjelasan tentang kenyataan seluruhnya timbul dari hasrat manusia (
obyektifitas ) akan pengetahuan yang lebih mendasar.
Perbedaan filsafat dan ilmu
adalah sebagai berikut :
Ø Obyek material ( lapangan ) filsafat
itu bersifat universal ( umum ) yaitu segala sesuatu yang ada ( realita ) sedangkan obyek material
ilmu ( pengetahuan ilmiah ) itu bersifat khusus dan emfiris. Artinya, ilmu
hanya terfokus pada disiplin bidang masing-masing secara kaku dan terkotak-kotak,
sedangkan kajiam filsafat tidak terkotak-kotak dalam disiplin tertentu.
Ø Obyek formal ( sudut pandang )
filsafat itu bersifat non-fragmentaris, karena mencari pengertian dari segala
sesuatu yang ada itu secara luas, mendalam dan mendasar. Sedangkan ilmu
bersifat fragmentaris, spesifik, dan intensif. Di samping itu, obyek formal
ilmu bersifat tehnik yang berarti bahwa car aide-ide manuasia itu mengadakan
penyatuan diri dengan realita.
Ø Filsafat dilaksanakan dalam suatu
suasana pengetahuan yang menonjolkan daya spekulasi, kritis dan pengawasan,
sedangkan ilmu haruslah di adakan riset lewat pendekatan train and error. Oleh
karena itu, nilai ilmu terletak pada kegunaan pragmatis, sedangkan kegunaan
filsafat timbul dari nilainya.
Ø Filsafat memuat pertanyaan lebih
jauh dan lebih mendalam berdasarkan pada pengalaman realitas sehari-hari,
sedangkan ilmu bersifat diskursif, yaitu menguraikan secara logis yang dimulai
dari tidak tahu menjadi tahu.
Ø Filsafat memberikan penjelasan yang
terkhir yang mutlak dan mendalam sampai mendasar ( primary cause ), sedangkan
ilmu menunjukkan sebab-sebab yang tidak begitu mendalam yang lebih dekat dengan
yang sekunder ( secondary cause ).
2. Relasi Filsafat Dan Agama
Baik
agama maupun filsafat pada dasarnya mempunyai kesamaan, keduanya memiliki
tujuan yang sama, yakni mencapai kebenaran yang sejati. Agama yang dimaksud
disini adalah agama samawi yaitu agama yang diwahyukan tuhan kepada nabi dan
rasul-Nya. Dibalik persamaan itu terdapat pula perbedaan antara keduanya. Dalam
agama ada beberapa hal yang amat penting, misalnya Tuhan, kebajikan, baik dan
buruk, surga dan neraka, dan lain-lain. Hal-hal tersebuat diselidiki pula oleh
filsafat. Oleh karena hal-hal tersebut ada atau paling tidak mungkin ada.
Oleh
karena filsafat itu menyelidiki sesuatu yang ada dan mungkin ada, dapat saja
agama yang terang ada itu difilsafatkan, artinya ditinjau secara filsafat. Pun
etika yang menyelidiki tingkah laku manusia dari sudut baik buruknya tentu sama
pula dengan hal-hal keagamaan.
Agama
sebagai suatu hal yang ada dapat diilmukan syarat ilmiah dan cara kerjanya
sekali dipakai dalam ilmu agama itu maka ada bermacam-macam ilmu yang obyeknya
suatu aspek dari agama adalah ilmu perbandingan agama, ada psikologi agama, ada
fenomenologi agama, ada sosiologi agama. Apa yang menjadi obyeknya
masing-masing yang kami utarakan sekarang ini, cukuplah sudah diajukan memang
ada ilmu-ilmu yang menyelidiki agama (aspeknya) secara ilmiah.
Alasan
filsafat untuk menerima kebenaran melainkan penyelidikan sendiri, hasil pikiran
belaka. Filsafat tidak mengingkari atau mengurangi wahyu, tetapi ia tidak
mendasarkan penyelidikanya pada wahyu. Ada juga beberapa hal yang masuk
kewilayah agama yang diselidiki pula oleh filsafat. Kalau demikian, mungkinkah
ada pertentangan antar agama dan filsafat? Pada dasarnya tidak, karena kalau
kedua-duanya mempunyai kebenaran, maka kebenaran itu satu dan sudah barang
tentu sama. Tidak mungkin ada sesuatu yang pada prinsipnya benar, juga tidak
benar. Tegasnya bahwa lapangan filsafat dan agama dalam beberapa hal mungkin
sama, akan tetapi dasarnya amat berlainan. Filsafat berdasarkan pada pikiran
belaka, agama berdasarkan wahyu ilahi. Agama sering disebut juga kepercaan,
alasanya karena yand diwahyukan oleh Tuhan haruslah dipercayai.
Dalam filsafat, untuk
mendapatkan kebenaran hakiki manusia harus mencarinya sendiri dengan
mempergunakan alat yang dimilikinya berupa segala potensi lahir dan batin.
Sedangkan dalam agama, untuk mendapatkan kebenaran hakiki itu manusia tidak
hanya mencarinya sendiri, melainkan ia harus menerima hal-hal yang diwahyukan
Tuhan, dengan kata singkat percaya atau iman.
Walaupun
antara kebenaran yang disajikan oleh agama mungkin serupa dengan kebenaran yang
dicapai oleh filsafat, tetapi tetap agama tidak bisa disamakan dengan filsafat.
Perbedaan ini disebabkan cara pandang yang berbeda. Disatu pihak agama
beralatkan kepercayaan, dilain pihak filsafat berdasarkan penelitian yang
menggunakan potensi manusiawi, dan meyakininya sebagai satu-satunya alat ukur
kebenaran, yaitu akal manusia.[5]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Metodologi merupakan hal yang mengkaji
perurutan langkah-langkah yang ditempuh supaya pengetahuan yang diperoleh
memenuhi pengetahuan yang ilmiah. Untuk memahami perinsip-perinsip metode
filsafat perlu dibahas pengertian metodologi, unsur-unsur metodologi, dan
beberapa pandangan tentang prinsip metodologi bagi filsuf. Metodologi dapat
diartikan sebagai ilmu yang membicarakan tentang metode-metode. Metode adalah
cara bertindak menurut aturan tertentu. Sedangkan Etika
berarti moral sedangkan etiket berarti sopan santun. Dalam bahasa Inggeris
dikenal sebagai ethics dan etiquette. Etika disebut juga filsafat moral adalah
cabang filsafat yang berbicara tentang praxis (tindakan) manusia. Etika tidak
mempersoalkan keadaan manusia, melainkan mempersoalkan bagaimana manusia harus
bertindak. Banyak orang yang termenung karena ia menghadapi kejadian
yang membingungkannya, atau karena ia ingin tahu dan memikirkan kejadian itu.
B. Saran
Kita sebagai makhluk sosial, saling
membutuhkan. Sehingga kita membutuhkan makhluk yang lain, dan sebagai makhluk
sosial kita membutuhkan pengetahuan agar mengetahui bagaimana cara untuk
bersosialisasi di dalam masyarakat. dan dengan berfilsafat kita dapat mengkji
dengan kajian yang objektif sehingga mendapatkan suatu kebenaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar