Senin, 02 Oktober 2017

FILSAFAT ILMU

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar  Belakang
1.      Pengembangan dan Penerapan Filsafat Ilmu
sebagai bagian integral dari filsafat secara keseluruhan perkembangannya tidak bisa dilepaskan dari sejarah perkembangan filsafat itu sendiri secara keseluruhan. Menurut Lincoln Cuba, sebagai yang dikutip oleh Ali Abdul Azim, bahwa kita mengenal tiga babakan perkembangan paradigma dalam filsafat ilmu di Barat yaitu era prapositivisme, era positivisme dan era pasca modernisme. Era prapositivisme adalah era paling panjang dalam sejarah filsafat ilmu yang mencapai rentang waktu lebih dari dua ribu tahun. Dalam uraian ini, penulis cenderung mengklasifikasi perkembangan filsafat ilmu berdasarkan ciri khas yang mewarnai pada tiap fase perkembangan. Dari sejarah panjang filsafat, khususnya filsafat ilmu, penulis membagi tahapan perkembangannya ke dalam empat fase sebagai berikut:
1.      Filsafat Ilmu zaman kuno, yang dimulai sejak munculnya filsafat sampai dengan munculnya Renaisance .
2.      Filsafat Ilmu sejak munculnya Renaisance sampai memasuki era positivism.
3.      Filsafat Ilmu zaman Modern, sejak era Positivisme sampai akhir abad kesembilan belas.
4.      .Filsafat Ilmu era kontemporer yang merupakan perkembangan mutakhir Filsafat Ilmu sejak awal abad kedua sampai sekarang.
Perkembangan Filsafat ilmu pada ke empat fase tersebut akan penulis uraikan dengan  mengedepankan aspek-aspek yang mewarnai perkembangan filsafat ilmu di masanya sekaligus yang menjadi babak baru dan ciri khas fase tersebut yang membedakannya dari fase-fase sebelum atau sesudahnya. Di samping itu penulis juga akan mengungkap tentang peran filosof muslim dalam perkembangan filsafat ilmu ini, walaupun bukan dalam suatu fase tersendiri. [1]    Penerapan Filsafat dan Ilmu dalam kehidupan sehari-hari. Konstruksi Masa Depan Ilmu Dan Teknologipenerapan ilmu pengetuan dalam kehidupan manusia membawa kecenderungan berpikir bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi dapat menyelesaikan segala-galanya. Padahal terlalu sering terjadi bahwa problem yang ditimbulkan oleh penerapan ilmu pengetahuan dan pemanfaatan teknologi dalam kehidupan manusia sehari-hari bukanlah problem-problem teknis ilmiah, melainkan problem yang mempunyai kandungan moral. Masyarakat hidup dari, dengan, dan melalui hasil-hasil ilmu pengetahuan, tetapi ada sebuah juraang ilmu pengetahuan dan teknologi yang mungkin membuat semua pencapaian material dan ( sebagian ) yang non-material di sekitar kita.
Kemajuan yang dihasilkan oleh ilmu pengetahuan dalam beberapa dasawarsa terakhir ini serta keberhasilan menerapkan menerapkan pandangan-pandangan dan temuan-temuannya, bukanhanya memperluas cakrawala dan memperdalam kepahaman manusia mengenai alam semesta, tetapi juga telah meningkatkan kemampuan kontrol manusia atas kekuatan alam bahkan atas kesadaran manusia. Kehidupan manusia membawa kecenderungan berpikir bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi dapat menyelesaikan segala-galanya. Padahal terlalu sering terjadi bahwa problem yang ditimbulkan oleh penerapanilmu pengetahuan dan pemanfaatan teknologi dalam kehidupan manusia sehari-hari bukanlah problem-problem teknis ilmiah, melainkan problem yang mempunyai kandungan moral. Masyarakat hidup dari,dengan, dan melalui hasil-hasil ilmu pengetahuan, tetapi ada sebuah jurang yang dalam sekali antara apa yang sehari-hari bukanlah problem-problem teknis ilmiah, melainkan problem yang mempunyai kandungan moral. Masyarakat hidup dari, dengan, dan melalui hasil-hasil ilmu pengetahuan, tetapi ada sebuah jurang yang dalam sekali antara apa yang secara teoretis dimengerti oleh masyarakat, dapat diharapkan dan apa yang sungguh-sungguh tertera dalam perwujudannya.
Ketika ilmu pengetahuan dan metodenya diperkenalkan kemasyarakat baik melalui pendidikan formal maupun non-formal. Berbicara tentang landasan di Era sekarang ini seringkali disebut-sebut sebagai era informasi, namun sesungguhnya di belakang pernyataan ini secara implisit terkandung pengertian mengenai era ilmu pengetahuan dan teknologi yang mungkin membuat semua pencapaian material dan ( sebagian ) yang non-material di sekitar kita.Kemajuan yang dihasilkan oleh ilmu pengetahuan dalam beberapa dasawarsa terakhir ini serta keberhasilan menerapkan menerapkan pandangan-pandangan dan temuan-temuannya, bukan hanya memperluas cakrawala dan memperdalam kepahaman manusia mengenai alam semesta, tetapi juga telah meningkatkan kemampuan kontrol manusia atas kekuatan alam bahkan atas kesadaran manusia lainnya. Kemajuan ilmu pengetahuan telah memberikan kepadamanusia kekuasaan yang semakin besar atas realitas.Tidak dapat disangkal bahwa ilmu pengetahuan danteknologi membawa juga bersamanya berbagai problem baru yang memprihatinkan yang menuntut kehendakuntuk menyelesaikan, serta sering kali tidak tertunda.
Kedahsyatan penerapan ilmu pengetahuan dalam kehidupan manusia membawa kecenderungan berpikir bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi dapat menyelesaikan segala-galanya.Padahal terlalu sering terjadi bahwa problem yang ditimbulkan oleh penerapanilmu pengetahuan dan pemanfaatan teknologi dalam kehidupan manusia sehari-hari bukanlah problem-problem teknis ilmiah, melainkan problem yang mempunyai kandungan moral. Masyarakat hidup dari, dengan, dan melalui hasil-hasil ilmu pengetahuan, tetapi ada sebuah jurang yang dalam sekali antara apa yang secara teoretis dimengerti oleh masyarakat, dapat diharapkan dan apa yang sungguh-sungguh tertera dalam perwujudannya.[2]

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pengembangan teori dan alternative ?
2.      Bagaimana etika dalam pengembangan ilmu dan teknologi ?
3.      Bagaimana jalinan fungsional agama, filsafat dan ilmu ?

















BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengembangan Teori dan Alternative Metodologinya
Metodologi merupakan hal yang mengkaji perurutan langkah-langkah yang ditempuh supaya pengetahuan yang diperoleh memenuhi pengetahuan yang ilmiah. Untuk memahami perinsip-perinsip metode filsafat perlu dibahas pengertian metodologi, unsur-unsur metodologi, dan beberapa pandangan tentang prinsip metodologi bagi filsuf.
Metodologi dapat diartikan sebagai ilmu yang membicarakan tentang metode-metode. Metode adalah cara bertindak menurut aturan tertentu.
Unsur-unsur Metodologi menurut Anton Baker dan Ahmad Charris Zubair :
1.      Interpretasi (Menafsirkan)
2.      Induksi dan Deduksi
3.      Koherensi Intern
4.      Holistis
5.      Kesinambungan Historis
6.      Idealisasi
7.      Komperasi
8.      Heuristika
9.      Analogi
10.  Deskripsi
Kajian filsafat ilmu :
1.      Ontologi (hakikat apa yang dikaji)
Ontologi membahas keberadaan sesuatu yang bersifat kongkrit secara kritis. Beberapa aliran dalam bidang antologi, yakni realism naturalisme dan empirisme. Secara ontologism, objek dibahas dari keberadaannya, apakah ia materi atau bukan, guna membentuk konsep tentang alam nyata (universal ataupun spesifik). Ontologi ilmu meliputi apa hakikat ilmu itu, apa hakikat kebenaran dan kenyataan yang inheren dengan pengetahuan ilmiah, yang tidak terlepas dari persepsi filsafat tentang apa dan bagaimana yang ada. Persoalan yang dialami oleh ontology ilmu misalnya apakah objek yang ditelaah ilmu? Bagaimana wujud hakiki objek tersebut? Bagaimana hubungan objek tersebut dengan daya tangkap manusia (seperti berpikir, merasa, dan mengindra) yang membuahkan pengetahuan? Pemahaman ontologik meningkatkan pemahaman manusia tentang sifat dasar berbagai benda yang akhirnya akan menentukan pendapat bahkan keyakinannya mengenai apa dan bagaimana yang ada sebagaimana manifestasi kebenaran yang dicarinya.

2.      Epistimologi
Epistimologi adalah pengetahuan sistematik mengenai pengetahuan. Ia merupakan cabang filsafat yang membahas tentang terjadinya pengetahuan, sumber pengatahuan, asal mula pengetahuan, sarana, metode, atau cara memperoleh pengetahuan, validitas dan kebenaran pengetahuan ilmiah. Perbedaan landasan ontologik menyebabkan perbadaan dalam menentukan metode yang dipilih dalam upaya memperoleh pengetahuan yang benar. Akal, akal budi, pengalaman atau kombinasi akal dan pengalaman, intuisi, merupakan sarana mencari pengetahuan yang dimaksud dalam epistemologik, sehingga dikenal model-model epistemologik seperti rasionalisme, empirisme, rasionalisme kritis, positivisme, fenomenologi, dan sebagainya. Epistemologi juga membahas bagaimana menilai kelebihan dan kelemahan suatu model epistemologik beserta tolak ukurnya bagi pengetahuan ilmiah, seperti teori koherensi, korespondesi, pragmatis, dan teori intersubjektif.
Pengetahuan merupakan daerah persinggungan antara benar dan dipercaya. Pengetahuan bisa diperoleh dari akal sehat yaitu melalui pengalaman secara tidak sengaja yang bersifat sporadic dan kebetulan sehingga cenderung bersifat kebiasaan dan pengulangan, cenderung bersifat kabur dan samar karena merupakan pengetahuan yang tidak teruji. Ilmu pengetahuan (sains) diperoleh berdasarkan analisis dengan langkah-langkah yang sistematis (metode ilmiah) menggunakan nalar yang logis. Sarana berpikir ilmiah adalah bahasa, matematika, dan statistika. Metode ilmiah menggabungkan cara berpikir deduktif dan induktif sehingga menjadi jembatan penghubung antara penjelasan teoritis dengan pembuktian yang dilakukan secara empiris. Secara rasional, ilmu menyusun pengetahuannya secara konsisten dan kumulatif, sedangkan secara empiris ilmu memisahkan pengetahuan yang sesuai dengan fakta dari yang tidak. Dengan metode ilmiah berbagai penjelasan teoritis atau juga naluri yang dapat diuji, apakah sesuai dengan kenyataan empiris atau tidak.
Kebenaran pengetahuan dapat dilihat dari kesesuaian artinya dengan fakta yang ada, dengan putusan-putusan lain yang telah diakui kebenarannya dan tergantung kepada berfaedah tidaknya teori tersebut bagi kehidupan manusia. Jika seseorang ingin membuktikan kebenaran suatu pengetahuan maka, cara, sikap, dan sarana yang digunakan untuk membangun pengetahuan tersebut harus benar. Apa yang diyakini atas dasar pemikiran saja tidak benar karena ada sesuatu di dalam nalar kita yang salah. Demikian pula apa yang kita yakini karena kita amati belum tentu benar karena penglihatan kita mungkin saja mengalami penyimpangan. Itulah sebabnya ilmu pengetahuan selalu berubah-ubah dan berkembang.

3.      Aksiologi Ilmu (nilai kegunaan ilmu)
Meliputi nilai-nilai kegunaan yang bersifat normatif dalam pemberian makna terhadap kebenaran atau kenyataan yang dijumpai dalam seluruh aspek kehidupan. Niai-nilai kegunaan ilmu ini juga wajib dipatuhi seorang ilmuan. Baik dalam melakukan penelitian maupun di dalam menerapkan ilmu. Ilmu khusus yang sesuai dengan obyek kajiannya antara lain:

Ø  Metaphysica Generalis
Ø  Theodicia Naturalis
Ø  Anthropologia Filosofica
Ø  Cosmologi
Ø  Filsafat Biologie
Ø  Filsafat Psichologi
Ø  Filsafat Sosiologie
Ø  Epistimologi
Ø  Filsafat Etica
Ø  Filsafat Estetika.[3]

B.     Etika dalam Pengembangan Ilmu dan Teknologi
Etika berarti moral sedangkan etiket berarti sopan santun. Dalam bahasa Inggeris dikenal sebagai ethics dan etiquette. Etika disebut juga filsafat moral adalah cabang filsafat yang berbicara tentang praxis (tindakan) manusia. Etika tidak mempersoalkan keadaan manusia, melainkan mempersoalkan bagaimana manusia harus bertindak. Tindakan manusia ini ditentukan oleh bermacam-macam norma.  Norma ini masih dibagi lagi menjadi norma hukum, norma moral, noprma agama dan norma sopan santun. Norma hukum berasal dari hukum dan perundang-undangan, norma agama berasal dari agama sedangkan norma moral berasal dari suara batin. Norma sopan santun berasal dari kehidupan sehari-hari sedangkan norma moral berasal dari etika. Etika memang bukanlah bagian dari ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Etika lebih merupakan sarana untuk memperoleh orientasi kritis yang berhadapan dengan moralitas. Kendati demikian etika tetaplah berperan penting dalam IPTEK. Penerapan IPTEK dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari memerlukan adanya dimensi etis sebagai pertimbangan yang terkadang ikut berpengaruh dalam proses perkembangan IPTEK selanjutnya.
Hakikatnya, IPTEK dipelajari untuk mengembangkan dan memperkokoh eksistensi manusia, dan bukan sebaliknya, menghancurkan eksistensi manusia dan justru menjadikan manusia budak teknologi. Oleh karena itu, tanggung jawab etis diperlukan untuk mengontrol kegiatan dan penggunaan IPTEK. Dalam kaitan hal ini, terjadi keharusan untuk memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, menjaga keseimbangan ekosistem, bertanggung jawab pada kepentingan umum, kepentingan generasi mendatang, dan bersifat universal.[1] Keberadaan tanggung jawab etis tidak bermaksud menghambat kemajuan IPTEK. Justru dengan adanya dimensi etis yang mengendalikan, kemajuan IPTEK akan semakin berlomba-lomba meningkatkan martabat manusia sebagai “tuan” teknologi dan bukan hamba teknologi. Tanggung jawab etis juga diharapkan mampu menginspirasi, memacu, dan memotivasi manusia untuk mengembangkan teknologi yang IPTEK yang tidak mencelakakan manusia serta aman bagi lingkungan hidup.
Pada awalnya teknologi diciptakan untuk meringankan dan membebaskan manusia dari kesulitan hidupnya. Namun manusia justru terjebak dalam kondisi konsumerisme yang semakin meningkatkan ketergantungan manusia akan teknologi dan parahnya, menjadikan manusia budak teknologi. Manusia semestinya memajukan IPTEK sesuai dengan nilai intrinsiknya sebagai pembebas beban kerja manusia. Bila tidak sesuai, maka teknologi justru akan menimbulkan ketidakadilan dalam masyarakat, karena ada yang diuntungkan dan ada yang dirugikan. Selain itu, martabat manusia akan semakin direndahkan dengan menjadi budak teknologi, berbagai penyakit sosial merebak di masyarakat, hingga pada fenomena dehumanisasi ketika manusia kehilangan peran dan fungsinya sebagai makhluk spiritual.
Apakah kemajuan iptek itu merendahkan atau meningkatkan keberadaan manusia sangat ditentukan oleh manusia itu sendiri, karena IPTEK sendiri merupakan salah satu dari 7 cultural universal yang dihasilkan manusia yang terdiri dari: sistem mata pencaharian, sistem kepercayaan, bahasa, sistem kemasyarakatan, kesenian, sistem ilmu pengetahuan, dan sistem peralatan hidup. Oleh karena itu, perkembangan IPTEK haruslah diikuti kedewasaan manusia untuk mengerti mana yang baik dan yang buruk, mana yang semestinya dan yang tidak semestinya dilakukan dalam pengembangan IPTEK. Di sinilah peran etika untuk ikut mengontrol perkembangan IPTEK agar tidak bertentangan dengan niilai dan norma dalam masyarakat, serta tidak merugikan manusia sendiri. Etika, terutama etika keilmuan sangatlah penting dalam kehidupan ilmiah karena etika keilmuan menyoroti kejujuran, tanggung jawab, serta bebas nilai atau tidak bebas nilai dalam ilmu pengetahuaan.
Berbicara masalah bebas nilai atau tidaknya ilmu pengetahuan sangatlah relevan dengan apa yang terjadi di zaman Renaissance, yang terkenal dengan paham Aufklarung yang mendewakan rasionalitas manusia. Pada zaman kegelapan (Dark Age), gereja senantiasa mengatur dan mengendalikan kaum cendekiawan sehingga mereka merasa sangat terkekang. Setiap teori atau penemuan-penemuan baru hanya dapat dipergunakan dengan persetujuan dan pengakuan gereja. Sejak saat itulah para cendekiawan Barat beranggapan bahwa nilai dan norma hanya menghambat kemajuan IPTEK. Pemahaman rasional tentang dirinya dan alam mengantar manusia pada suatu pragmatisme ilmiah, dimana perkembangan ilmu dianggap berhasil ketika memiliki konsekuensi-konsekuensi pragmatis. Keadaan ini pula yang menggiring ilmuwan untuk menjaga jarak terhadap problem nilai secara langsung.
Untuk menentukan bahwa ilmu itu bebas nilai atau tidak, maka diperlukan sekurang-kurangnya 3 faktor sebagai indikator. Pertama, ilmu tersebut harus bebas dari pengandaian dan pengaruh faktor eksternal seperti politik, ideologi, agama, budaya, dll. Kedua, perlunya kebebasan usaha ilmiah demi terjaminnya otonomi ilmu pengetahuan.Ketiga, tidak luputnya penelitian ilmiah dari pertimbangan etis yang selalu dituding menghambat kemajuan ilmu pengetahuan. Indikator pertama dan kedua memperlihatkan upaya ilmuwan untuk menjaga objektivitas ilmiah ilmu pengetahuan, sedangkan indikator ketiga ingin menunjukkan adanya faktor X yang hampir mustahil dihindarkan dari perkembangan ilmu pengetahuan, yaitu pertimbangan etis.[5] Selain 3 indikator tadi, masih ada indikator keempat yang amat sulit ditolak oleh ilmu pengetahuan, yakni kekuasaan. Perkembangan IPTEK selalu sarat dengan berbagai kepentingan, terutama kepentingan kekuasaan yang kadang memunculkan konflik kepentingan antara ilmuwan dengantruth claim melawan penguasa dengan authority claimnya. Dan di negara berkembang, konflik itu hampir selalu dimenangkan pihak penguasa.
Ilmu sendiri, baik secara teoritis maupun praktis tidak pernah bebas dari nilai. Selalu ada kepentingan yang bermain di dalam ilmu itu. Namun, pertimbangan etis semestinya hanya berperan sebagai rambu-rambu saja, dan bukannya mengekang perkembangan IPTEK tersebut. Kesalahan Barat adalah mereka menganggap bahwa ilmu selalu bebas nilai dan sudah semestinya ilmu pengetahuan tidak berhubungan dengan agama (sekularisme). Akan tetapi, intervensi nilai yang berlebihan ke dalam ilmu pengetahuan juga akan mengekang kreativitas manusia dalam berpikir. Ilmu pengetahuan semata-mata hanya menjadi alat dari berbagai macam kepentingan, terutama kepentingan ideologis dan politik.
Karena IPTEK tidaklah bebas nilai, maka sudah sewajarnya kita mengkuti perkembangannya, asalkan jangan sampai kita terjebak rasa ketergantungan pada teknologi. Teknologi hanyalah alat untuk membantu meringankan beban kerja kita sehingga jangan sampai justru kita menjadi malas dan diperbudak teknologi. Dalam perkembangan teknologi komunikasi dan komunikasi kontemporer sendiri, sudah begitu banyak media yang dikembangkan untuk memperlancar komunikasi dan memperpendek jarak antar manusia. Sebut saja komputer, jaringan telepon selular yang dibantu adanya satelit komunikasi, serta internet yang mengusung Super Highway Communication dengan electronic mail. Selain itu, telepon selular di beberapa negara pun sudah dilengkapi fasilitas 3G atau bahkan 4G yang memungkinkan manusia mengakses data dalam waktu yang amat singkat.
Berbagai kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah mengantar kita pada kemudahan-kemudahan untuk mengerjakan pekerjaan sehari-hari baik di rumah, sekolah, maupun kantor. Namun, jangan sampai justru dengan segala fasilitas itu kita menjadi diperbudak oleh alat. Kita adalah manusia yang bisa berpikir dan menciptakan berbagai macam peralatan. Oleh karena itu hendaknya kita menciptakan teknologi sesuai dengan keadaan dan kebutuhan manusia, bukannya membuat manusia harus menyesuaikan diri dengan teknologi.
Jenis-jenis etika:
1.      Etika sebagai Praktis
Ø  Nilai-nilai dan norma-norma moral sejauh dipraktekkan atau justru tidak dipraktekkan walaupun seharusnya dipraktekkan.
Ø  Apa yang dilakukan sejauh sesuai atau tidak sesuai dengan nilai dan norma moral.

2.      Etika sebagai Refleksi
Ø  Pemikiran moral berpikir tentang apa yang dilakukan dan khususnya tentang apa yang harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan.
Ø  Berbicara tentang etika sebagai praksis atau mengambil praksis etis sebagai objeknya.
Ø  Menyoroti dan menilai baik buruknya perilaku orang.
Ø  Dapat dijalankan pada taraf populer maupun ilmiah.

Etika dalam Ilmu dan Teknologi, Baik agama maupun filsafat pada dasarnya mempunyai kesamaan, keduanya memiliki tujuan yang sama, yakni mencapai kebenaran yang sejati. Agama yang dimaksud disini adalah agama samawi yaitu agama yang diwahyukan tuhan kepada nabi dan rasul-Nya. Dibalik persamaan itu terdapat pula perbedaan antara keduanya. Dalam agama ada beberapa hal yang amat penting, misalnya Tuhan, kebajikan, baik dan buruk, surga dan neraka, dan lain-lain. Hal-hal tersebuat diselidiki pula oleh filsafat. Oleh karena hal-hal tersebut ada atau paling tidak mungkin ada.
Oleh karena filsafat itu menyelidiki sesuatu yang ada dan mungkin ada, dapat saja agama yang terang ada itu difilsafatkan, artinya ditinjau secara filsafat. Pun etika yang menyelidiki tingkah laku manusia dari sudut baik buruknya tentu sama pula dengan hal-hal keagamaan.
Agama sebagai suatu hal yang ada dapat diilmukan syarat ilmiah dan cara kerjanya sekali dipakai dalam ilmu agama itu maka ada bermacam-macam ilmu yang obyeknya suatu aspek dari agama adalah ilmu perbandingan agama, ada psikologi agama, ada fenomenologi agama, ada sosiologi agama. Apa yang menjadi obyeknya masing-masing yang kami utarakan sekarang ini, cukuplah sudah diajukan memang ada ilmu-ilmu yang menyelidiki agama (aspeknya) secara ilmiah.
Alasan filsafat untuk menerima kebenaran melainkan penyelidikan sendiri, hasil pikiran belaka. Filsafat tidak mengingkari atau mengurangi wahyu, tetapi ia tidak mendasarkan penyelidikanya pada wahyu. Ada juga beberapa hal yang masuk kewilayah agama yang diselidiki pula oleh filsafat. Kalau demikian, mungkinkah ada pertentangan antar agama dan filsafat? Pada dasarnya tidak, karena kalau kedua-duanya mempunyai kebenaran, maka kebenaran itu satu dan sudah barang tentu sama. Tidak mungkin ada sesuatu yang pada prinsipnya benar, juga tidak benar. Tegasnya bahwa lapangan filsafat dan agama dalam beberapa hal mungkin sama, akan tetapi dasarnya amat berlainan. Filsafat berdasarkan pada pikiran belaka, agama berdasarkan wahyu ilahi. Agama sering disebut juga kepercaan, alasanya karena yand diwahyukan oleh Tuhan haruslah dipercayai.
Dalam filsafat, untuk mendapatkan kebenaran hakiki manusia harus mencarinya sendiri dengan mempergunakan alat yang dimilikinya berupa segala potensi lahir dan batin. Sedangkan dalam agama, untuk mendapatkan kebenaran hakiki itu manusia tidak hanya mencarinya sendiri, melainkan ia harus menerima hal-hal yang diwahyukan Tuhan, dengan kata singkat percaya atau iman.
Walaupun antara kebenaran yang disajikan oleh agama mungkin serupa dengan kebenaran yang dicapai oleh filsafat, tetapi tetap agama tidak bisa disamakan dengan filsafat. Perbedaan ini disebabkan cara pandang yang berbeda. Disatu pihak agama beralatkan kepercayaan, dilain pihak filsafat berdasarkan penelitian yang menggunakan potensi manusiawi, dan meyakininya sebagai satu-satunya alat ukur kebenaran, yaitu akal manusia.
Diantara faktor-faktor yang mengakibatkan suasana etis di zaman kita sekarang. Perkembangan pesat dan menakjubkan di bidang ilmu dan teknologi pasti mempunyai kedudukan penting. Dengan “ilmu” di sini terutama dimaksudkan ilmu alam. Dengan teknologi dimengerti penerapan ilmu alam yang memungkinkan kita menguasai dan memamfaatkan daya-daya alam. Di antara masalah-masalah etis berat yang dihadapi sekarang ini tidak sedikit berasal dari hasil kadang-kadang spektekuler yang di capai ilmu dan teknologi modern. Di bandingkan dengan generasi sebelumnya, perkembangan ilmiah dan teknologis itu mengubah banyak sekali dalam hidup manusia, antara lain juga menyajikan masalah-masalah etis yang tidak pernah terduga sebelumnya. Tentu saja topic yang begitu luas dan rumit tidak mungkin di uraikan disini dengan lengkap dan menurut segala aspeknya. Kita harus membatasi diri pada beberapa catatan saja. [4]
C.     Jalinan Fungsional Agama, Filsafat, dan Ilmu
Banyak orang yang termenung karena ia menghadapi kejadian yang membingungkannya, atau karena ia ingin tahu dan memikirkan kejadian itu. Lantas terbetik di dalam benaknya berbagai pertanyaan, apakah kehidupa itu ? mengapa aku berada disini ? mengapa ada sesuatu ? apakah kedudukan kehidupan dan alam yang besar ini ?
Semua persoalan itu adalah falsafi. Usaha untuk mendapatkan jawaban atau pemecahan terhadapnya telah menimbulkan teori-teori dan system pemikiran seperti idealisme, dan fenomenologi. Pada perkembangan selanjutnya, ilmu terbagi dalam beberapa di siplin yang satu dengan yang lainnya. Berikut ini akan kita bahas jalinan fungsional ilmu filsafat dan agama.
1.      Relasi filsafat dan ilmu
Filsafat dan ilmu dalam penggunannya dalam beberapa hal saling tumpah tindih, bahasa yang di pakai dalam filsafat berusaha untuk berbicara mengenai ilmu dan bukunya di dalamnya ilmu, walaupun begitu apa yang harus di katakana oleh sesorang ilmuan mungkin penting pula bagi seorang filsuf. Satu hal yang tidak dapat di lakukan oleh seseorang filsop ialah mencoba memberitahukan kepada seseorang ilmuan mengenai apa yang harus di temukannya. Filsafat dan ilmu bertemu pada obyek material, dan yang melainkan obyek formanya. Batasnya jadi terang akan tetapi dalam prakteknya sering juga ada kekacauan, ini tidak mengherankan sebab yang di selidiki memang sama, sedangkan yang menyelidiki itu sama juga ialah manusia. Beda antara ilmu dan filsafat ternyata juga dari cara berfikir manusia. Seperti kami katakan lebih dulu ilmu berkisar pada fakta. Fakta itu khusul, namun ilmu harus berlaku umum dalam hukum-hukumnya. Hukum-hukum itu berlaku untuk umum, rumusan-rumusan hukum dalam ilmu alam, ekonomi serta ilmu hukum dan sebagainya di ajukan dalam keumumannya. Ilmu memang dalam konklusinya yang di tuangkan dalam putusannya melalui yang umum, tentang binatang pada umumnya, tentang manusia pada umumnya, tentang bilangan dan lain-lain, tidaklah mengenai yang khusus. Adapun realitas yang di hadapi ilmu itu selalu khusus , satu persatu ( individual ).
Dalam kekhususannya itu realitas bermacam-macam. Dalam bermacamnya hal-hal yang individual itu di sebut konkrit, artinya  hal itu terlibat dalam dan dengan sifat-sifat seluruhnya yang dimilikinya. Yang konkret itu lalu tertentu, yang satu lain daripada yang lain. Tetapi bagaimanapun lainnya mungkinlah yang berlainan itu dapat dapat dimasukkan dalam satu macam. Aspek yang umum itulah yang tidak konkret, lalu di sebut abstrak yang di ajukan oleh ilmu. Keumuman dalam ilmu itu juga tidak mutlak, tergantung dalam ilmu itu sendiri yang sama dalam bidang hal-hal yang hendak di ajukan, lalu ada keumuman dalam ruang, dalam hidup, dalam aturan dan sebagainya. Namun bagi ilmu manapun juga, jika kebenaran pendapat atau hukumnya hendak di buktikan haruslah melalui fakta pengalaman, seperti kami bentangkan di atas sehingga harus di katakan bahwa ilmu membatasi diri pada pengalaman. Adafun sifat ilmiah yang menuntut keumuman itu ternyata dimiliki ilmu demi kemampuan manusia untuk hanya menghiraukan yang umum saja dalam bermacaam-macam, jadi aspek obyek sajalah yang di perhatikan. Itu sebabnya pula walaupun ilmu hendak mencapai yang umum, memang ada sifat-sifat yang tidak di abstrakkan, jadi tidak masuk ilmu tertentu. Oleh karena obyek yang komplit itu sifatnya hampir-hampir tidak terbatas, kemungkinan jumlah ilmu boleh dikatakan tidak terbatas juga. Kalu ilmu mengadakan abstraksi sampai kepada adanya obyek itu maka boleh dan haruslah ilmu disebut mencari keterangan yang sedalam-dalamnya untuk yang ada dan yang mungkin ada. Ilmu yng sampai pengabstrakan demikian itulah yang kami sebut filsafat. Filsafat itu lalu umum seumumnya, juga tidak membatasi diri dalam pengalaman atau apapun juga.
Walau demikian antara ilmu dan filsafat ada hubungannya. Filsafat memang dalam penyelidikannya mulai dari apa yang di alami manusia, karena tidak ada pengetahuan kalau tidak bersentuha lebih dulu dengan indera. Sedangkan  ilmu yang hendak menelaah hasil penginderaan itu, tidak mungkin mengambil keputusan dengan menjalankan pikiran tanpa mempergunakan dalil dan hukum pikiran yang mungkin dialaminya. Sebaliknya filsafatpun memerlukan data dari ilmu, jika misalnya ahli filsafat manusia hendak menyelidiki manusia itu serta hendak menentukan apakah manusia itu, ia memang harus mengetahui gejala tindakan manusia. Dalam hal ini yang bernama psikologi akan menolong filsafat itu sebaik-baiknya dengan hasil penyelidikannya. Kesimpulan filsafat tentang kemanusiaan akan sangat pincang dan mungkin jauh dari kebenaran jika tidak menghiraukan hasil psikologi.
A.    Persamaan Dan Perbedaan Filsafat Dan Ilmu
    Persamaan filsafat dan ilmu adalah sebagai berikut :
Ø  Keduanya mencari rumusan yang sebaik-baiknya menyelidiki obyek selengkap-lengkapnya sampai keakar-akarnya.
Ø  Keduanya memberikan pengertian mengenai hubungan atau koheren yang ada antara kejadian-kejadian yang kita alami dan mencoba menunjukkan sebab-sebabnya.
Ø  Keduanya hendak memberikan sintesis yaitu suatu pandangan yang bergandengan
Ø  Keduanya mempunyai metode dan system
Ø  Keduanya hendak memberikan penjelasan tentang kenyataan seluruhnya timbul dari hasrat manusia ( obyektifitas ) akan pengetahuan yang lebih mendasar.
Perbedaan filsafat dan ilmu adalah  sebagai berikut :
Ø  Obyek material ( lapangan ) filsafat itu bersifat universal ( umum ) yaitu segala sesuatu  yang ada ( realita ) sedangkan obyek material ilmu ( pengetahuan ilmiah ) itu bersifat khusus dan emfiris. Artinya, ilmu hanya terfokus pada disiplin bidang masing-masing secara kaku dan terkotak-kotak, sedangkan kajiam filsafat tidak terkotak-kotak dalam disiplin tertentu.
Ø  Obyek formal ( sudut pandang ) filsafat itu bersifat non-fragmentaris, karena mencari pengertian dari segala sesuatu yang ada itu secara luas, mendalam dan mendasar. Sedangkan ilmu bersifat fragmentaris, spesifik, dan intensif. Di samping itu, obyek formal ilmu bersifat tehnik yang berarti bahwa car aide-ide manuasia itu mengadakan penyatuan diri dengan realita.
Ø  Filsafat dilaksanakan dalam suatu suasana pengetahuan yang menonjolkan daya spekulasi, kritis dan pengawasan, sedangkan ilmu haruslah di adakan riset lewat pendekatan train and error. Oleh karena itu, nilai ilmu terletak pada kegunaan pragmatis, sedangkan kegunaan filsafat timbul dari nilainya.
Ø  Filsafat memuat pertanyaan lebih jauh dan lebih mendalam berdasarkan pada pengalaman realitas sehari-hari, sedangkan ilmu bersifat diskursif, yaitu menguraikan secara logis yang dimulai dari tidak tahu menjadi tahu.
Ø  Filsafat memberikan penjelasan yang terkhir yang mutlak dan mendalam sampai mendasar ( primary cause ), sedangkan ilmu menunjukkan sebab-sebab yang tidak begitu mendalam yang lebih dekat dengan yang sekunder ( secondary cause ).

2.      Relasi Filsafat Dan Agama
Baik agama maupun filsafat pada dasarnya mempunyai kesamaan, keduanya memiliki tujuan yang sama, yakni mencapai kebenaran yang sejati. Agama yang dimaksud disini adalah agama samawi yaitu agama yang diwahyukan tuhan kepada nabi dan rasul-Nya. Dibalik persamaan itu terdapat pula perbedaan antara keduanya. Dalam agama ada beberapa hal yang amat penting, misalnya Tuhan, kebajikan, baik dan buruk, surga dan neraka, dan lain-lain. Hal-hal tersebuat diselidiki pula oleh filsafat. Oleh karena hal-hal tersebut ada atau paling tidak mungkin ada.
Oleh karena filsafat itu menyelidiki sesuatu yang ada dan mungkin ada, dapat saja agama yang terang ada itu difilsafatkan, artinya ditinjau secara filsafat. Pun etika yang menyelidiki tingkah laku manusia dari sudut baik buruknya tentu sama pula dengan hal-hal keagamaan.
Agama sebagai suatu hal yang ada dapat diilmukan syarat ilmiah dan cara kerjanya sekali dipakai dalam ilmu agama itu maka ada bermacam-macam ilmu yang obyeknya suatu aspek dari agama adalah ilmu perbandingan agama, ada psikologi agama, ada fenomenologi agama, ada sosiologi agama. Apa yang menjadi obyeknya masing-masing yang kami utarakan sekarang ini, cukuplah sudah diajukan memang ada ilmu-ilmu yang menyelidiki agama (aspeknya) secara ilmiah.
Alasan filsafat untuk menerima kebenaran melainkan penyelidikan sendiri, hasil pikiran belaka. Filsafat tidak mengingkari atau mengurangi wahyu, tetapi ia tidak mendasarkan penyelidikanya pada wahyu. Ada juga beberapa hal yang masuk kewilayah agama yang diselidiki pula oleh filsafat. Kalau demikian, mungkinkah ada pertentangan antar agama dan filsafat? Pada dasarnya tidak, karena kalau kedua-duanya mempunyai kebenaran, maka kebenaran itu satu dan sudah barang tentu sama. Tidak mungkin ada sesuatu yang pada prinsipnya benar, juga tidak benar. Tegasnya bahwa lapangan filsafat dan agama dalam beberapa hal mungkin sama, akan tetapi dasarnya amat berlainan. Filsafat berdasarkan pada pikiran belaka, agama berdasarkan wahyu ilahi. Agama sering disebut juga kepercaan, alasanya karena yand diwahyukan oleh Tuhan haruslah dipercayai.
Dalam filsafat, untuk mendapatkan kebenaran hakiki manusia harus mencarinya sendiri dengan mempergunakan alat yang dimilikinya berupa segala potensi lahir dan batin. Sedangkan dalam agama, untuk mendapatkan kebenaran hakiki itu manusia tidak hanya mencarinya sendiri, melainkan ia harus menerima hal-hal yang diwahyukan Tuhan, dengan kata singkat percaya atau iman.
Walaupun antara kebenaran yang disajikan oleh agama mungkin serupa dengan kebenaran yang dicapai oleh filsafat, tetapi tetap agama tidak bisa disamakan dengan filsafat. Perbedaan ini disebabkan cara pandang yang berbeda. Disatu pihak agama beralatkan kepercayaan, dilain pihak filsafat berdasarkan penelitian yang menggunakan potensi manusiawi, dan meyakininya sebagai satu-satunya alat ukur kebenaran, yaitu akal manusia.[5]














BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
 Metodologi merupakan hal yang mengkaji perurutan langkah-langkah yang ditempuh supaya pengetahuan yang diperoleh memenuhi pengetahuan yang ilmiah. Untuk memahami perinsip-perinsip metode filsafat perlu dibahas pengertian metodologi, unsur-unsur metodologi, dan beberapa pandangan tentang prinsip metodologi bagi filsuf. Metodologi dapat diartikan sebagai ilmu yang membicarakan tentang metode-metode. Metode adalah cara bertindak menurut aturan tertentu. Sedangkan Etika berarti moral sedangkan etiket berarti sopan santun. Dalam bahasa Inggeris dikenal sebagai ethics dan etiquette. Etika disebut juga filsafat moral adalah cabang filsafat yang berbicara tentang praxis (tindakan) manusia. Etika tidak mempersoalkan keadaan manusia, melainkan mempersoalkan bagaimana manusia harus bertindak. Banyak orang yang termenung karena ia menghadapi kejadian yang membingungkannya, atau karena ia ingin tahu dan memikirkan kejadian itu.
B.     Saran
Kita sebagai makhluk sosial, saling membutuhkan. Sehingga kita membutuhkan makhluk yang lain, dan sebagai makhluk sosial kita membutuhkan pengetahuan agar mengetahui bagaimana cara untuk bersosialisasi di dalam masyarakat. dan dengan berfilsafat kita dapat mengkji dengan kajian yang objektif sehingga mendapatkan suatu kebenaran.    







[1] http://manusiapinggiran.blogspot.co.id/2013/03/perkembangan-filsafat-ilmu.html

[2]https://www.scribd.com/doc/129937533/Penerapan-Filsafat-Dan-Ilmu-Dalam-Kehidupan-Sehari-Hari
[3] http://sastrabahasabangjexz.blogspot.co.id/2010/04/pengembangan-teori-dan-alternatif.html

[4] http://imadiklus.com/filsafat-ilmu-etika-dalam-pengembangan-ilmu-dan-teknologi/

[5] Soemargono, Soejono, pengantar filsafat. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya,1996.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Persamaan Differensial Orde 2

BAB I PENDAHULUAN A.     Pengantar Persamaan differensial orde 2 adalah persamaan yang dapat ditulis dalam bentuk : F(x, y, y’,...