Kriteria Baik dan Buruk Menurut
Aliran Idealisme
A. Pengertian
Idealisme
Idealisme ialah sebuah istilah yang digunakan
pertama kali dalam dunia filsafat oleh Libniz pada awal abad 18. Ia menerapkan
istilah ini pada pemikiran Plato, seraya memperlawankan dengan materialisme.
Istilah Idealisme adalah aliran filsafat yang memandang mental dan ideasional
sebagai kunci ke hakikat realitas.[1]
Istilah Idealisme berasal dari bahasa Gerika
(Yunani), yaitu dari kata “idea” yang secara etimologis berarti akal, pikiran,
atau sesuatu yang hadir dalam pikiran atau dapat juga disebut sesuatu bentuk
yang masih ada dalam alam pikiran manusia.[2]
B. Baik
dan Buruk Menurut Aliran Idealisme
Menurut idealisme manusia pada dasarnya merupakan
makhluk rohani. Sebuah contoh yang jelas mengenai idealisme ialah filsafat
Hegel, yang menurut pendiriannya kenyataan berupa ide, roh akal atau pikiran.
Maka menurut idealisme, nilai serta harkat manusia didasarkan atas kenyataan
bahwa ia merupakan wahana roh dan berhakekat kejiwaan.[3]
Aliran idealisme ini sangat penting dalam
perkembangan sejarah pikiran manusia. Mula-mula dalam filsafat barat kita temui
dalam bentuk ajaran yang murni dari plato yang menyatakan bahwa alam, cita-cita
adalah kenyataan sebenarnya. Adapun alam nyata yang menempati ruang ini hanyalah berupa bayangan saja dari
alam ide.
Tokoh utama dalam aliran ini adalah Immanuel Kant
(1725-1804). Pokok-pokok pandangannya adalah sebagai berikut :
1. Wujud
yang paling dalam dari kenyataan (hakikat) adalah kerohanian. Seseorng berbuat
baik pada prinsipnya bukan karena dianjurkan oleh orang lain, melainkan atas
dasar kemauan sendiri atau rasa kewajiban. Sekalipun diancam dan dicela orang
lain, perbuatan baik itu dilakukan karena adanya rasa kewajiban yang terdapat
dalam nurani manusia.
2. Faktor
yang paling penting memengaruhi manusia adalah “kemauan” yang melahirkan
tindakan yang konkret. Adapun pokoknya di sini adalah “kemauan baik”.
3. Kemauan
yang baik itulah dihubungkan dengan suatu hal yang menyempurnakannya, yaitu
“rasa kewajiban”.[4]
Kemauan adalah merupakan faktor terpenting dari
wujudnya tindakan-tindakan yang nyata. Oleh karena itu “kemauan yang baik”
adalah menjadi dasar pokok dalam etika idealisme. Menurut Kant untuk dapat
terealisasinya tindakan dari kemauan yang baik, maka kemauan yang perlu
dihubungkan dengan suatu hal yang akan menyempurnakannya, yaitu “perasaan
kewajiban”. Jadi, ada kemauan yang baik kemudian disertai dengan perasaan
kewajiban menjalankan sesuatu perbuatan/tindakan, maka terwujudlah
perbuatan/tindakan yang baik. Perlu dijelaskan disini, bahwa rasa kewajiban itu
terlepas dari kemanfaatan, dalam arti kalau kita mengerjakan sesuatu karena
perasaan kewajiban, maka kita tidak boleh memikirkan apa untung dan ruginya
dari pekerjaan atau perbuatan itu. Jadi, rasa kewajiban itu tidak dapat
direalisasi lagi kepada elemen-elemenyang lebih kecil, dalam arti kewajiban itu
hanya untuk kewajiban semata.[5]
Menurut Plato, Etika bersifat rasional dan
mencerminkan intelektualitas yang tinggi. Dasar ajarannya adalah mencapai akal
budi yang baik. Akal budi, artinya mengetahui. Orang yang berpengetahuan dengan
sendirinya akan berbudi baik. Oleh sebab itu, sempurnakanlah pengetahuan dengan
pengertian. Pendapat Plato tentang etika , berpijak pada ajarannya tentang idea
dualisme dunia dalam teori pengetahuan diteruskannya ke dalam praktik
hidup. Karena kemauan seseorang
bergantung pada pendapatnya, nilai kemauannya ditentukan pula oleh pendapatnya.
Dari pengetahuan yang sebenarnya dicapai dengan dialektik timbul akal budi yang
lebih tinggi daripada yang dibawakan oleh pengetahuan dari pandangan yang tidak
berbudi.
Menurut
Plato ada dua macam budi, yaitu :
1) Budi
filosofi, yang timbul dari pengetahuan dengan pengertian.
2) Budi
biasa, yang tebawa oleh kebiasaan orang banyak.
Tujuan budi folosofi terletak di dalam dunia yang
tidak kelihatan. Tujuan budi biasa adalah barang-barang keperluan hidup di
dunia. Karena tujuannya berlainan, daerah berlakunya pun berlainan. Hubungan
tersebut timbul karena kerinduan jiwa kembali ke dunia asal. Semua yang
kelihatan menyerupai yang tidak kelihatan. Jiwa yang murni sangat rindu pada
dunia asal, tempat ia dapat memandang semua dalam kesucian dan kesempurnaannya.
Hal ini menjadi dasar yang normative bagi etik dan agama. (Mohammad Hatta,
1986: 106).
Budi adalah pengetahuan tentang yang baik, dan tidak
ada budi yang buruk. Manusia yang mencintai akal budinya bekerja dengan lurus,
ia akan selalu bersikap baik. Siapa yang hidup di dalam dunia idea, tidak dapat
berbuat jahat. Dengan demikian, kebaikan adalah idea utama manusia tentang
kebahagiaan. Sebaliknya keluar dari alam idea utama, lahirlah kejahatan dan
kesengsaraan.[6]
C. Pengelompokan
Aliran Idealisme
1. Idealisme
Rasionalistik
Bahwa dengan
menggunakan pikiran dan akal, manusia berusaha mengenal norma-norma bagi
perilakunya, dan dengan demikian dapat sampai pada pemahaman tentang mana yang
baik dan mana yang buruk, dan sebagai akibatnya dapat memahami apa yang boleh
dikerjakan dan apa yang tidak boleh dikerjakan. Karena akal tidak dapat
menetapkan tujuan bagi perbuatan, penetapan tujuan ini harus dilakukan secara
lain. Manakala sekali tujuan telah ditetapkan, maka akallah yang bertugas
menunjukkan jalan yang harus dilalui untuk mencapai tujuan tersebut. Pikiran
hanya menunjukkan sarana-sarana, bukan tujuan perbuatan.
2. Idealisme
Estetik
Paha mini hendak
mendekatkan perbuatan susila pada seni, dalam hal ini keinsyafan kesusilaan
seakan-akan menjadi masalah citarasa. Tidaklah mengherankan jika para
penganutnya sangat menghargai seni, khususnya keindahan, dan mengganggap
pemberian bentuk estetik sebagai hal yang sangat penting. Namun, ciri pengenal
estetisisme ialah pendiriannya bahwa dunia, kehidupan, dan khususnya kehidupan
manusia dipandang sebagai karya seni. Dunia ini merupakan “kosmos”, yang secara
harfiah berarti kehidupannya juga merupakan karya seni atau setidak-tidaknya
dapat menjadi karya seni.
3. Idealisme
Etik
Idealisme etik bertoak dari
kenyataan kesusilaan, dan atas dasar tesebut menyusun pandangannya tentang
dunia dan tentang kehidupan. Paham ini mengakui adanya lingkungan norma-norma
moral yang berlaku bagi manusia dan yang menuntut manusia untuk mewujudkannya.
Pertama-tama manusia itu dipandangnya sebagai makhluk susila, artinya, sebagai
makhluk yang mempunyai keinsyafan akan baik dan buruk, dapat mengerjakan yang
baik dan tidak mengerjakan yang buruk.[7]
DAFTAR PUSTAKA
Lorens
Bagus. 2005. Kamus Filsafat. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
H.
Devos. 1987. Pengantar Etika.
Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya
Rosihon
Anwar. 2010. Akhlak Tasawuf. Bandung:
Pustaka Setia
Debysezuli.blogspot.co.id.
Beni
Ahmad Saebani dan Abdul Hamid. 2010. Ilmu
Akhlak. Bandung: Pustaka Setia
Diyaasaviella.blogspot.com
[1] Lorens Bagus. 2005. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
[2] Suhrawardi K. Lubis. Etika Profesi Hukum. Halaman 46
[3] H. Devos. 1987. Pengantar Etika. Yogyakarta: Tiara
Wacana Yogya. Halaman 203
[4] Rosihon Anwar. 2010. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia.
Halaman 77-78
[5] Debysezuli.blogspot.co.id.
Diakses pada Minggu, 8 Oktober 2017
[6] Beni Ahmad Saebani dan Abdul
Hamid. 2010. Ilmu Akhlak. Bandung:
Pustaka Setia. Halaman 251
[7] Diyaasaviella.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar