Minggu, 04 Februari 2018

akhlak tasawuf kriteria baik dan buruk



Kriteria Baik dan Buruk Menurut
Aliran Idealisme

A.    Pengertian Idealisme
Idealisme ialah sebuah istilah yang digunakan pertama kali dalam dunia filsafat oleh Libniz pada awal abad 18. Ia menerapkan istilah ini pada pemikiran Plato, seraya memperlawankan dengan materialisme. Istilah Idealisme adalah aliran filsafat yang memandang mental dan ideasional sebagai kunci ke hakikat realitas.[1]
Istilah Idealisme berasal dari bahasa Gerika (Yunani), yaitu dari kata “idea” yang secara etimologis berarti akal, pikiran, atau sesuatu yang hadir dalam pikiran atau dapat juga disebut sesuatu bentuk yang masih ada dalam alam pikiran manusia.[2]

B.     Baik dan Buruk Menurut Aliran Idealisme
Menurut idealisme manusia pada dasarnya merupakan makhluk rohani. Sebuah contoh yang jelas mengenai idealisme ialah filsafat Hegel, yang menurut pendiriannya kenyataan berupa ide, roh akal atau pikiran. Maka menurut idealisme, nilai serta harkat manusia didasarkan atas kenyataan bahwa ia merupakan wahana roh dan berhakekat kejiwaan.[3]
Aliran idealisme ini sangat penting dalam perkembangan sejarah pikiran manusia. Mula-mula dalam filsafat barat kita temui dalam bentuk ajaran yang murni dari plato yang menyatakan bahwa alam, cita-cita adalah kenyataan sebenarnya. Adapun alam nyata yang menempati  ruang ini hanyalah berupa bayangan saja dari alam ide.
Tokoh utama dalam aliran ini adalah Immanuel Kant (1725-1804). Pokok-pokok pandangannya adalah sebagai berikut :
1.      Wujud yang paling dalam dari kenyataan (hakikat) adalah kerohanian. Seseorng berbuat baik pada prinsipnya bukan karena dianjurkan oleh orang lain, melainkan atas dasar kemauan sendiri atau rasa kewajiban. Sekalipun diancam dan dicela orang lain, perbuatan baik itu dilakukan karena adanya rasa kewajiban yang terdapat dalam nurani manusia.
2.      Faktor yang paling penting memengaruhi manusia adalah “kemauan” yang melahirkan tindakan yang konkret. Adapun pokoknya di sini adalah “kemauan baik”.
3.      Kemauan yang baik itulah dihubungkan dengan suatu hal yang menyempurnakannya, yaitu “rasa kewajiban”.[4]
Kemauan adalah merupakan faktor terpenting dari wujudnya tindakan-tindakan yang nyata. Oleh karena itu “kemauan yang baik” adalah menjadi dasar pokok dalam etika idealisme. Menurut Kant untuk dapat terealisasinya tindakan dari kemauan yang baik, maka kemauan yang perlu dihubungkan dengan suatu hal yang akan menyempurnakannya, yaitu “perasaan kewajiban”. Jadi, ada kemauan yang baik kemudian disertai dengan perasaan kewajiban menjalankan sesuatu perbuatan/tindakan, maka terwujudlah perbuatan/tindakan yang baik. Perlu dijelaskan disini, bahwa rasa kewajiban itu terlepas dari kemanfaatan, dalam arti kalau kita mengerjakan sesuatu karena perasaan kewajiban, maka kita tidak boleh memikirkan apa untung dan ruginya dari pekerjaan atau perbuatan itu. Jadi, rasa kewajiban itu tidak dapat direalisasi lagi kepada elemen-elemenyang lebih kecil, dalam arti kewajiban itu hanya untuk kewajiban semata.[5]
Menurut Plato, Etika bersifat rasional dan mencerminkan intelektualitas yang tinggi. Dasar ajarannya adalah mencapai akal budi yang baik. Akal budi, artinya mengetahui. Orang yang berpengetahuan dengan sendirinya akan berbudi baik. Oleh sebab itu, sempurnakanlah pengetahuan dengan pengertian. Pendapat Plato tentang etika , berpijak pada ajarannya tentang idea dualisme dunia dalam teori pengetahuan diteruskannya ke dalam praktik hidup.  Karena kemauan seseorang bergantung pada pendapatnya, nilai kemauannya ditentukan pula oleh pendapatnya. Dari pengetahuan yang sebenarnya dicapai dengan dialektik timbul akal budi yang lebih tinggi daripada yang dibawakan oleh pengetahuan dari pandangan yang tidak berbudi.
Menurut Plato ada dua macam budi, yaitu :
1)      Budi filosofi, yang timbul dari pengetahuan dengan pengertian.
2)      Budi biasa, yang tebawa oleh kebiasaan orang banyak.
Tujuan budi folosofi terletak di dalam dunia yang tidak kelihatan. Tujuan budi biasa adalah barang-barang keperluan hidup di dunia. Karena tujuannya berlainan, daerah berlakunya pun berlainan. Hubungan tersebut timbul karena kerinduan jiwa kembali ke dunia asal. Semua yang kelihatan menyerupai yang tidak kelihatan. Jiwa yang murni sangat rindu pada dunia asal, tempat ia dapat memandang semua dalam kesucian dan kesempurnaannya. Hal ini menjadi dasar yang normative bagi etik dan agama. (Mohammad Hatta, 1986: 106).
Budi adalah pengetahuan tentang yang baik, dan tidak ada budi yang buruk. Manusia yang mencintai akal budinya bekerja dengan lurus, ia akan selalu bersikap baik. Siapa yang hidup di dalam dunia idea, tidak dapat berbuat jahat. Dengan demikian, kebaikan adalah idea utama manusia tentang kebahagiaan. Sebaliknya keluar dari alam idea utama, lahirlah kejahatan dan kesengsaraan.[6]

C.     Pengelompokan Aliran Idealisme
1.      Idealisme Rasionalistik
Bahwa dengan menggunakan pikiran dan akal, manusia berusaha mengenal norma-norma bagi perilakunya, dan dengan demikian dapat sampai pada pemahaman tentang mana yang baik dan mana yang buruk, dan sebagai akibatnya dapat memahami apa yang boleh dikerjakan dan apa yang tidak boleh dikerjakan. Karena akal tidak dapat menetapkan tujuan bagi perbuatan, penetapan tujuan ini harus dilakukan secara lain. Manakala sekali tujuan telah ditetapkan, maka akallah yang bertugas menunjukkan jalan yang harus dilalui untuk mencapai tujuan tersebut. Pikiran hanya menunjukkan sarana-sarana, bukan tujuan perbuatan.
2.      Idealisme Estetik
Paha mini hendak mendekatkan perbuatan susila pada seni, dalam hal ini keinsyafan kesusilaan seakan-akan menjadi masalah citarasa. Tidaklah mengherankan jika para penganutnya sangat menghargai seni, khususnya keindahan, dan mengganggap pemberian bentuk estetik sebagai hal yang sangat penting. Namun, ciri pengenal estetisisme ialah pendiriannya bahwa dunia, kehidupan, dan khususnya kehidupan manusia dipandang sebagai karya seni. Dunia ini merupakan “kosmos”, yang secara harfiah berarti kehidupannya juga merupakan karya seni atau setidak-tidaknya dapat menjadi karya seni.
3.      Idealisme Etik
Idealisme etik bertoak dari kenyataan kesusilaan, dan atas dasar tesebut menyusun pandangannya tentang dunia dan tentang kehidupan. Paham ini mengakui adanya lingkungan norma-norma moral yang berlaku bagi manusia dan yang menuntut manusia untuk mewujudkannya. Pertama-tama manusia itu dipandangnya sebagai makhluk susila, artinya, sebagai makhluk yang mempunyai keinsyafan akan baik dan buruk, dapat mengerjakan yang baik dan tidak mengerjakan yang buruk.[7]










DAFTAR PUSTAKA
Lorens Bagus. 2005. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.    
H. Devos. 1987. Pengantar Etika. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya
Rosihon Anwar. 2010. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia
Debysezuli.blogspot.co.id.
Beni Ahmad Saebani dan Abdul Hamid. 2010. Ilmu Akhlak. Bandung: Pustaka Setia
Diyaasaviella.blogspot.com



                                                                                                    







[1] Lorens Bagus. 2005. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
[2] Suhrawardi K. Lubis. Etika Profesi Hukum. Halaman 46
[3] H. Devos. 1987. Pengantar Etika. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya. Halaman 203
[4] Rosihon Anwar. 2010. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia. Halaman 77-78
[5] Debysezuli.blogspot.co.id. Diakses pada Minggu, 8 Oktober 2017
[6] Beni Ahmad Saebani dan Abdul Hamid. 2010. Ilmu Akhlak. Bandung: Pustaka Setia. Halaman 251
[7] Diyaasaviella.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Persamaan Differensial Orde 2

BAB I PENDAHULUAN A.     Pengantar Persamaan differensial orde 2 adalah persamaan yang dapat ditulis dalam bentuk : F(x, y, y’,...