Senin, 02 Oktober 2017

DEMOKRASI

BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar  Belakang
Demokrasi berarti kekuasaan rakyat.Pemerintahan yang diselenggarakan berdasarkan kekuasaan yang berasal dari rakyat,oleh rakyat dan untuk rakyat.Atau rakyat ikut serta secara aktif terlibat dalam penyelenggaraan pemerintahan,sehingga semua kebijakan atau keputusan yang diambil oleh pemerintah itu sesuai dengan aspirasi rakyat.Di sisi lain rakyat aktif melakukan kontrol terhadap apa yang dilakukan oleh pemerintah,
sehingga pemerintahan berjalan dengan baik atau tercipta good governance.[1]
Perkembangan demokrasi di Indonesia telah mengalami pasang surut.Indonesia telah mengalami beberapa pergantian sistem pemerintahan.Hal ini menimbulkan banyak pertanyaan dan oleh karena itu kami tertarik mengangkat tema tentang demokrasi untuk diulas lebih lanjut.

B.      Rumusan Masalah
1)      Apa makna dan hakikat demokrasi ?
2)      Bagaimanakah demokrasi sebagai pandangan hidup ?
3)      Apa saja unsur penegak demokrasi ?
4)      Bagaimanakah model-model demokrasi ?



5)      Apa prinsip dan parameter demokrasi ?
6)      Bagaimana sejarah perkembangan demokrasi di barat dan di Indonesia ?
7)      Bagaimanakah pandangan islam mengenai demokrasi ?
8)      Apa isu jender dalam islam dan demokrasi ?
















BAB II
PEMBAHASAN
A.      Makna dan Hakikat Demokrasi
Kata demokrasi dapat ditinjau dari dua pengertian, yakni pengertian secara bahasa atau etimologis dan pengertian secara istilah atau terminologis.
1)      Pengertian Etimologis Demokrasi
Dari sudut bahasa (etimologis), demokrasi berasal dari bahasa yunani, yaitu demos yang berarti rakyat dan cratos atau cratein yang berarti pemerintahan atau kekuasaan.Jadi, secara bahasa demos-cratein atau demos-cratos berarti pemerintahan rakyat atau kekuasaan rakyat.
Merujuk pada pengertian etimologis ini, perihal demokrasi adalah perihal penyelenggaraan kekuasaan dalam sejarah kehidupan politik manusia. Kekuasaan tertinggi dalam suatu negara selanjutnya disebut kedaulatan-berada di tangaan rakyat negara yang bersangkutan. Gagasan demikian merupakan inti dari teori kedaulatan negara,yang sekaligus menjadi latar belakang lahirnya demokrasi.
Pengelenggaraan demokrasi atau kedaulatan rakyat bermula dari yunani kuno yang di praktikkan dalam hidup bernegara antara abad ke-4 SM-abad ke-6 SM.Demokrasi yang dipraktikkan pada waktu itu adalah demokrasi langsung ,artinya hak rakyat untuk membuat keputusan-keputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh rakyat atau warga negara.Hal ini dapat dilakukan karena Yunani pada waktu itu berupa negara kota (polis) yang penduduknya terbatas pada sebuah kota dan daerah sekitarnya yang berpenduduk sekitar 300.000 orang. Tambahan pula, meskipun ada keterlibatan seluruh warga, namun masi ada pembatasan. Misalnya, para anak, wanita dan budak tidak berhak berpartisipasi dalam pemerintahan.
2)      Pengertian Terminologis Demokrasi
Dari sudut terminologi, banyak sekali definisi demokrasi yang dikemukakan oleh beberapa ahli politik yang masing-masing memberikan definisi dari sudut pandang yang berbeda.Berikut ini beberapa definisi tentang demokrasi.
·         Harris soche menyatakan : “Demokrasi adalah bentuk pemerintahan rakyat, karena itu kekuasaan pemerintahan itu melekat pada diri rakyat, diri orang banyak, dan merupakan hak bagi rakyat atau orang banyak untuk mengatur, mempertahankan, dan melindungi dirinya dari paksaan dan perkosaan orang lain atau badan yang diserah untuk memerintah.”
·         Henry B.Mayo menyatakan : “Sistem politik demokratis adalah sistem yang menunjukkan bahwa kebijaksanaan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala Yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik.”
·         Menurut International Commission Of Jurist : “Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan dimana hak untuk membuat keputusan-keputusan politik diselenggarakan oleh warga negara melalui wakil-wakil yang dipilih oleh mereka dan yang bertanggung jawab kepada mereka melalui suatu proses pemilihan yang bebas.”
Ada satu pengertian mengenai demokrasi yang dianggap paling populer diantara pengertian yang ada. Pengertian demokrasi yang dikemukakan pada tahun 1863 oleh Abraham Lincolin yang mengatakan demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.[2]

B.      Demokrasi Sebagai Pandangan Hidup
Masyarakat harus menjadikan demokrasi sebagai filsafat hidup dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.Demokrasi tidak akan datang tumbuh dan berkembang dengan sendirinya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Karena itu demokrasi memerlukan usaha nyata setiap warga dan perangkat pendukungnya yaitu budaya yang kondusif sebagai manifestasi dari suatu kerangka berpikir dan rancangan masyarakat.[3]
Demokrasi bukanlah “take for granted”. Demokrasi membutuhkan usaha nyata dari setiap warga maupun penyelenggara negara untuk berperilaku sedemikian rupa sehingga mendukung pemerintahan atau sistem politik demokrasi. Perilaku yang mendukung tersebut tentu saja merupakan perilaku demokratis. Perilaku demokrasi terkait dengan nilai-nilai demokrasi. Perilaku yang senantiasa bersandarkan pada nilai-nilai demokrasi akan membentuk budaya atau kultur demokrasi. Pemerintahan demokratis memerlukan kultur demokrasi untuk membuatnya performed (eksis dan tegak). Perilaku demokrasi ada dalam manusia itu sendiri, baik selaku warga negara maupun penjaga negara.
Menurut John Dewey dalam zamroni (2001), ide pokok demokrasi adalah pandangan hidup yang dicerminkan dengan perlunya partisipasi dari setiap warga yang sudah dewasa dalam membentuk nilai-nilai yang mengatur kehidupan. Demokrasi merupakan suatu keyakinan, suatu prinsip pertama dan utama yang harus dijabarkan dan dilaksanakan secara sistematis dalam bentuk aturan sosial politik.Demokrasi sebagai sikap hidup di dalamnya ada nilai-nilai demokrasi yang dipraktikkan oleh masyarakatnya sebagai budaya demokrasi.
Menurut Nurcholish Madjid, demokrasi sebagai proses berisikan norma-norma yang menjadi pandangan hidup bersama. Demokrasi adalah proses menuju dan menjaga civil society yang menghormati dan berupaya merealisasikan nilai-nilai demokrasi.
Menurut Padmo Wahyono, dalam alfian dan oetojo usman (1990) demokrasi adalah suatu pola kehidupan masyarakat yang sesuai dengan keinginan ataupun pandangan hidup manusia yang berkelompok tersebut. Demokrasi merupakan bentuk kehidupan bersama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Sebagai sikap hidup maka demokrasi berisi nilai-nilai atau norma yang hendaknya dimiliki oleh warga yang menginginkan kehidupan demokrasi. Demokrasi sebagai sikap hidup berisi nilai-nilai demokrasi yang dapat dimiliki, dihayati, dan diamalkan oleh semua orang. Bentuk pemerintahan demokrasi maupun sistem politik demokrasi suatu negara memerlukan sikap hidup warganya yang demokratis.
Dengan demikian, pemahaman demokrasi sebagai pandangan hidup mensyaratkan adanya kultur (budaya) demokrasi yang berkembang di masyarakat.[4]

C.      Unsur Penegak Demokrasi
Tegaknya demokrasi sebagai sebuah tata kehidupan sosial dan sistem politik sangat bergantung kepada tegaknya unsur penopang demokrasi itu sendiri.Unsur-unsur yang dapat menopang tegaknya demokrasi antara lain :
Ø  Negara Hukum ; Dalam kepustakaan ilmu hukum di Indonesia istilah negara hukum sebagai terjemahan dari rechtsstaat dan the rule of law. Konsepsi negara hukum mengandung pengertian bahwa negara memberikan perlindungan hukum bagi warga negara melalui pelembagaan peradilan yang bebas dan tidak memihak dan penjaminan hak asasi manusia. Istilah rechtsstaat dan the rule of law yang diterjemahkan menjadi negara hukum menurut Moh.Mahfud MD pada hakikatnya mempunyai makna berbeda. Konsep rechtsstaat mempunyai ciri-ciri sebagai berikut; adanya perlindungan terhadap HAM, adanya pemisahan dan pembagian kekuasaan pada lembaga negara untuk menjamin perlindungan HAM, pemerintahan berdasarkan peraturan, adanya peradilan administrasi. Adapun the rule of law dicirikan oleh; adanya supremasi aturan-aturan hukum, adanya kesamaan kedudukan di depan hukum, adanya jaminan perlindungan HAM. Dengan demikian konsep negara hukum sebagai gabungan dari kedua konsep di atas dicirikan sebagai berikut; adanya jaminan perlindungan terhadap HAM, adanya supremasi hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan, adanya pemisahan dan pembagian kekuasaan negara, adanya lembaga peradilan yang bebas dan mandiri.
Ø  Masyarakat Madani ; masyarakat madani (civil society) dicirikan dengan masyarakat terbuka, masyarakat yang bebas dari pengaruh kekuasaan dan tekanan negara, masyarakat yang kritis dan berpartisipasi aktif serta masyarakat egaliter.Masyarakat madani merupakan elemen yang sangat signifikan dalam membangun demokrasi. Sebab salah satu syarat penting bagi demokrasi adalah terciptanya partisipasi masyarakat dalam proses-proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh negara atau pemerintahan. Masyarakat madani mensyaratkan adanya civic engagement yaitu keterlibatan warga negara dalam asosiasi-asosiasi sosial. Civic engagement ini memungkinkan tumbuhnya sikap terbuka, percaya, dan toleran antarsatu dengan lain yang sangat penting artinya bagi bangunan politik demokrasi (saiful mujani:2001). Masyarakat madani dan demokrasi bagi Gellner merupakan dua kata kunci yang tidak dapat dipisahkan. Demokrasi dapat dianggap sebagai hasil dinamika masyarakat yang menghendaki adanya partisipasi. Tatanan nilai-nilai masyarakat tersebut ada dalam masyarakat madani. Karena itu demokrasi membutuhkan tatanan nilai-nilai sosial yang ada pada masyarakat madani.
Ø  Infrastruktur Politik ; komponen berikutnya yang dapat mendukung tegaknya demokrasi adalah infrastruktur politik. Infrastruktur politik terdiri dari partai politik, kelompok gerakan, dan kelompok penekan atau kelompok kepentingan. Partai politik merupakan struktur kelembagaan politik yang aggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama yaitu memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik dalam mewujudkan kebijakan-kebijakannya. Kelompok gerakan yang lebih dikenal dengan sebutan organisasi masyarakat merupakan sekumpulan orang-orang yang berhimpun dalam satu wadah organisasi yang berorientasi pada pemberdayaan warganya seperti Muhamadiyah, NU, Persis, Perti, Nahdatul Wathon, Al-Wasliyah, Al- Irsyad, Jamiatul Khair dan sebagainya. Sedangkan kelompok penekan atau kelompok kepentingan merupakan sekelompok orang dalam sebuah wadah organisasi yang didasarkan pada kriteria profesionalitas dan keilmuan tertentu seperti AIPI (Asosiasi Ilmuwan Politik Indonesia), IKADIN, KADIN, ICMI, PGRI, LIPI, PWI, dan sebagainya.
Menciptakan dan menegakkan demokrasi dalam tata kehidupan kenegaraan dan pemerintahan, partai politik seperti dikatakan oleh Miriam Budiarjo, mengemban beberapa fungsi: sebagai sarana komunikasi politik, sebagai sarana sosialisasi politik, sebagai sarana rekrutmen kader dan anggota politik, sebagai sarana pengatur konflik. Keempat fungsi partai politik tersebut merupakan pengejawantahan dari nilai-nilai demokrasi yaitu adanya partisipasi, kontrol rakyat melalui partai politik terhadap kehidupan kenegaraan dan pemerintahan serta adanya pelatihan penyelesaian konflik secara damai.
Begitu pula aktivitas yang dilakukan oleh kelompok gerakan dan kelompok penekan yang merupakan perwujudan adanya kebebasan berorganisasi, kebebasan menyampaikan pendapat dan melakukan oposisi terhadap negara dan pemerintah. Hal itu merupakan indikator bagi tegaknya sebuah demokrasi. Kaum cendekiawan, kalangan sivitas akademi kampus, kalangan pers merupakan kelompok penekan signifikan untuk mewujudkan sistem demokratis dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Begitu pula aktivitas yang dilakukan oleh kelompok gerakan merupakan wujud keterlibatan dalam melakukan kontrol terhadap kebijakan yang diambil oleh negara. Dengan demikian partai politik, kelompok gerakan dan kelompok penekan sebagai infrastruktur politik menjadi salah satu pilar tegaknya demokrasi.

D.     Model-Model Demokrasi
 mengajukan lima corak atau model demokrasi yaitu demokrasi liberal, demokrasi terpimpin, demokrasi sosial, demokrasi partisipasi, dan demokrasi konstitusional. Penjelasan kelima model demokrasi tersebut sebagai berikut ;
·         Demokrasi Liberal ; yaitu pemerintahan yang dibatasi oleh undang-undang dan pemilihan umum bebas yang diselenggarakan dalam waktu yang ajeg. Banyak negara Afrika menerapkan model ini hanya sedikit yang bisa bertahan.
·         Demokrasi Terpimpin ; para pemimpin percaya bahwa semua tindakan mereka dipercaya rakyat tetapi menolak pemilihan umum yang bersaing sebagai kendaraan untuk menduduki kekuasaan.
·         Demokrasi Sosial ; adalah demokrasi yang menaruh kepedulian kepada keadilan sosial dan egalitarianisme bagi persyaratan untuk memperoleh kepercayaan politik.
·         Demokrasi Partisipasi ; yaitu menekankan hubungan timbal balik antara penguasa dan yang dikuasai.
·         Demokrasi Konstitusional ; yang menekankan proteksi khusus bagi kelompok-kelompok budaya yang menekankan kerja sama yang erat diantara elit yang mewakili bagian budaya masyarakat utama.
Selanjutnya pembagian demokrasi dilihat dari segi pelaksanaan menurut Inu Kencana terdiri dari dua model yaitu demokrasi langsung dan demokrasi tidak langsung. Demokrasi langsung terjadi bila rakyat mewujudkan kedaulatannya kepada suatu negara dilakukan secara langsung. Pada demokrasi langsung lembaga legislatif hanya berfungsi sebagai lembaga pengawas jalannya pemerintahan, sedangkan pemilihan pejabat eksekutif dilakukan rakyat secara langsung melalui pemilu. Begitu juga pemilihan anggota parlemen atau legislatif dilakukan rakyat secara langsung. Demokrasi tidak langsung terjadi bila untuk mewujudkan kedaulatannya rakyat tidak secara langsung berhadapan dengan pihak eksekutif, melalui lembaga perwakilan. Dengan demikian demokrasi tidak langsung disebut juga dengan demokrasi perwakilan.

E.      Prinsip dan Parameter Demokrasi
Suatu pemerintahan dikatakan demokratis bila dalam mekanisme pemerintahan mewujudkan prinsip-prinsip demokrasi. Menurut Masykuri Abdillah (1999) prinsip-prinsip demokrasi terdiri atas prinsip persamaan, kebebasan, dan pluralisme. Sedangkan dalam pandangan Robert A. Dahl terdapat tujuh prinsip yang harus ada dalam sistem demokrasi yaitu ; kontrol atas keputusan pemerintah, pemilihan yang teliti dan jujur, hak memilih dan dipilih, kebebasan menyatakan pendapat tanpa ancaman, kebebasan mengakses informasi, kebebasan berserikat (Masykuri Abdillah,1999).
Prinsip-prinsip negara demokrasi yang telah disebut di atas kemudian dituangkan dalam konsep yang lebih praktis untuk dapat diukur dan dicirikan. Ciri-ciri ini yang kemudian dijadikan parameter untuk mengukur tingkat pelaksnaan demokrasi yang berjalan di suatu negara. Untuk mengukur suatu negara atau pemerintah dalam menjalankan tata pemerintahannya dikatakan demokratis dapat dilihat dari empat aspek : masalah pembentukan negara, dasar kekuasaan negara, Susunan kekuasaan negara, Masalah kontrol rakyat.
Menurut Djuanda Widjaya kehidupan demokratis dalam suatu negara ditandai oleh beberapa hal sebagai berikut :
·         Dinikmati dan dilaksanakan hak sertaa kewajiban politik oleh masyarakat berdasarkan prinsip-prinsip dasar HAM yang menjamin adanya kebebasan,kemerdekaan dan rasa merdeka.
·         Penegakan hukum yang mewujud pada asas supremasi penegakan hukum,kesamaan di depan hukum dan jaminan terhadap HAM.
·         Kesamaan hak dan kewajiban anggota masyarakat.
·         Kebebasan pers dan pers yang bertanggung jawab.
·         Pengakuan terhadap hak minoritas.
·         Pembuatan kebijakan negara yang berlandaskan pada asas pelayanan,pemberdayaan dan pencerdasan.
·         Sistem kerja yang kooperatif dan kolaboratif.
·         Keseimbangan dan keharmonisan.
·         Tentara yang profesional sebagai kekuatan pertahanan.
·         Lembaga peradilan yang independen.
Pendapat berikut dikemukakan oleh Sri Soemantri yang menyatakan bahwa negara dikatakan demokratis bila :
·         hukum ditetapkan dengan persetujuan wakil rakyat yang dipilih secara bebas
·         hasil pemilu dapat mengakibatkan pergantian orang-orang pemerintahan
·         pemerintahan harus terbuka
·         kepentingan minoritas harus dipertimbangkan.
Selanjutnya Affan Gaffar (pakar politik UGM) menyebutkan sejumlah prasyarat untuk mengamati apakah sebuah political order (pemerintahan) merupakan sistem yang demokratik atau tidak melalui ukuran diantaranya ; akuntabilitas, rotasi kekuasaan, rekruitmen politik, pemilihan umum dan adanya pengakuan dan perlindungan hak-hak dasar. Kelima elemen tersebut berlaku secara universal di dalam melihat demokratis tidaknya suatu rezim pemerintahan.

F.       Sejarah Perkembangan Demokrasi di Barat dan Indonesia
Ø  Sejarah dan perkembangan demokrasi di barat
Konsep demokrasi semula lahir dari pemikiran mengenai hubungan negara dan hukum di yunani kuno dan dipraktekkan dalam hidup bernegara antara abad ke-6 SM sampai abad ke-4 M.
Demokrasi yang dipraktikkan pada masa itu berbentuk demokrasi langsung artinya hak rakyat untuk membuat keputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh warga negara berdasarkan prosedur mayoritas. Sifat langsung itu berjalan secara efektif karena negara kota Yunani kuno berlangsung dalam kondisi sederhana dengan wilayah negara yang hanya terbatas pada sebuah kota kecil dengan jumlah penduduk sekitar 300.000 orang. Selain itu ketentuan-ketentuan menikmati hak demokrasi hanya berlaku untuk warga negara yang resmi, sedangkan bagi warga negara yang berstatus  budak belian, pedagang asing, perempuan dan anak-anak tidak dapat menikmatinya.
Gagasan demokrasi yunani kuno berakhir pada abad pertengahan. Masyarakat abad pertengahan dicirikan pleh struktur masyarakat yang feodal, kehidupan spiritual dikuasai oleh paus dan pejabat agama, sedangkan kehidupan politiknya ditandai oleh perebutan kekuasaan diantara para bangsawan. Dengan demikian kehidupan sosial politik dan pada masa ini hanya ditentukan oleh elit-elit masyarakat yaitu kaum bangsawan dan kaum agamawan. Karena itu demokrasi tidak muncul pada abad pertengahan (abad kegelapan).
Menjelang akhir abad pertengahan, tumbuh kembali keinginan menghidupkan demokrasi. Lahirnya Magna Charta (Piagam Besar) sebagai suatu piagam yang memuat perjanjian antara kaum bangsawan dan Raja John di Inggris merupakan tonggak baru kemunculan demokrasi empirik. Dalam magna charta ditegaskan bahwa raja mengakui dan menjamin beberapa hak dan hak khusus bawahannya. Selain itu piagam tersebut juga memuat dua hal prinsip yang sangat mendasar ; pertama, adanya pembatasan kekuasaan raja, kedua, hak asasi manusia lebih penting daripada kedaulatan raja.
Momentum lainnya yang menandai kemunculan kembali demokrasi di dunia Barat adalah gerakan renaissance dan reformasi. Renaissance merupakan gerakan yang menghidupkan kembali minat pada sastra dan budaya Yunani kuno. Renaissance bersumber dari tradisi keilmuan islam dan berintikkan pada pemuliaan akal pikiran untuk selalu mencipta dan mengembangkan ilmu pengetahuan telah mengilhami munculnya kembali gerakan demokrasi.
Peristiwa lain yang mendorong timbulnya kembali gerakan demokrasi di Eropa yang sempat tenggelam pada abad pertengahan adalah gerakan reformasi yaitu suatu gerakan revolusi agama yang terjadi di Eropa pada abad ke-16 yang bertujuan untuk memperbaiki keadaan dalam gereja katolik. Hasil dari gerakan reformasi adalah adanya peninjauan terhadap doktrin gereja katolik yang berkembang menjadi protestanisme.
Pada kemunculannya kembali di Eropa, hak-hak politik rakyat dan hak-hak asasi manusia secara individu merupakan tema dasar dalam pemikiran politik (ketatanegaraan). Untuk itu, timbullah gagasan tentang cara membatasi kekuasaan pemerintah melalui pembuatan konstitusi baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Di atas konstitusi inilah bisa ditentukan batas-batas kekuasaan pemerintahan dan jaminan atas hak-hak politik rakyat, sehingga kekuasaan pemerintahan diimbangi dengan kekuasaan parlemen dan lembaga-lembaga hukum. Gagasan inilah yang kemudian dinamakan konstitusionalisme dalam sistem ketata negaraan.
Salah satu ciri penting pada negara yang menganut konstitusionalisme (demokrasi konstitusional) yang hidup pada abad ke-19 ini adalah sifat pemerintah yang pasif, artinya, pemerintah hanya menjadi wasit atau pelaksana sebagai keinginan rakyat yang dirumuskan oleh wakil rakyat di parlemen. Jika dibandingkan dengan Trial Politica Montesqiueu, tugas pemerintah dalam konstitusionalisme ini hanya terbatas pada tugas eksekutif, yaitu melaksanakan undang-undang yang telah dibuat oleh parlemen atas nama rakyat.
Dalam konsep konstitusionalisme atau demokrasi konstitusional abad ke-19 ini disebut Negara Hukum Formal (klasik). Yaitu negara yang tidak mandiri yang hanya bertindak sebagai penyaring berbagai keinginan dari interest-group dalam masyarakatnya.
Demokrasi, dalam gagasan baru ini, harus meluas mencakup dimensi ekonomi dengan sistem yang dapat menguasai kekuatan-kekuatan ekonomi dan berusaha memperkecil perbedaan sosial dan ekonomi terutama harus mampu mengatasi ketidakmerataan distribusi kekayaan di kalangan rakyat. Gagasan baru ini biasanya disebut sebagai gagasan Welfare State atau “Negara Hukum Material” (dinamis) dengan ciri-ciri yang berbeda dengan dirumuskan dalam konsep negara hukum klasik (formal).
Berdasarkan pernyataan dia atas, sejarah dan perkembangan demokrasi di barat diawali berbentuk demokrasi langsung yang berakhir pada abad pertengahan. Menjelang akhir abad pertengahan lahir Magna Charta dan dilanjutkan munculnya gerakan renissance dan reformasi yang menekankan pada adanya hak atas hidup, hak kebebasan dan hak memiliki. Selanjutnya pada abad ke-19 muncul gerakan demokrasi konstitusional. Dari demokrasi konstitusional melahirkan demokrasi welfare state.

Ø  Sejarah dan perkembangan demokrasi di Indonesia
Perkembangan demokrasi di Indonesia mengalami pasang-surut dari masa kemerdekaan sampai saat ini. Perkembangan demokrasi di Indonesia dari segi waktu dibagi dalam empat periode yaitu ;
1.      Demokrasi pada periode 1945-1959
Demokrasi pada masa ini dikenal dengan sebutan demokrasi parlementer. Sistem parlementer yang mulai berlaku sebulan sesudah kemerdekaan di proklamirkan dan kemudian diperkuat dalam UUD 1945 dan 1950, ternyata kurang cocok untuk Indonesia. Karena lemahnya benih-benih demokrasi sistem parlementer memberi peluang untuk dominasi partai-partai politik dan Dewan Perwakilan Rakyat.
UUD 1950 menetapkan berlakunya sistem parlementer di mana badan eksekutif terdiri dari presiden sebagai kepala negara konstitusional beserta menteri-menterinya yang mempunyai tanggung jawab politik. Di samping itu ternyata ada beberapa kekuatan sosial dan politik yang tidak memperoleh saluran dan tempat yang realistis dalam konstelasi politik, padahal merupakan kekuatan yang paling penting, yaitu seorang presiden yang tidak mau bertindak sebagai “rubber stamp president” (presiden yang membubuhi capnya belaka) dan tentara yang karena lahir dalam revolusi merasa bertanggung jawab untuk turut menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia pada umumnya.
Faktor-faktor semacam ini, di tambah dengan tidak mampunya anggota-anggota parta-partai yang tergabung dalam konstituante untuk mencapai konsensus mengenai dasar negara untuk undang-undang dasar baru, mendorong Ir. Soekarno sebagai presiden untuk mengeluarkan dekrit presiden 5 juli yang menentukan berlakunya kembali UUD 1945. Dengan demikian masa demokrasi berdasarkan sistem parlementer berakhir.
2.      Demokrasi pada periode 1959-1965
Ciri-ciri periode ini adalah dominasi presiden, terbatasnya peranan partai, berkembangnya pengaruh komunis dan meluasnya peranan ABRI sebagai unsur sosial politik. Dekrit presiden 5 Juli dapat dipandang sebagai suatu usaha untuk mencari jalan keluar dari kemacetan politik melalui pembentukan kepemimpinan yang kuat. UUD 1945 membuka kesempatan bagai seorang presiden untuk bertahan selama sekurang-kurangnya lima tahun. Akan tetapi ketetapan MPRS No. III/1963 yang mengangkat Ir. Soekarno sebagai presiden seumur hidup telah membatalkan perbatasan waktu lima tahun ini (UUD memungkinkan seorang presiden untuk dipilih kembali) yang ditentukan oleh UUD. Selain dari pada itu banyak lagi tindakan yang menyimpang dari atau menyeleweng terhadap ketentuan-ketentuan Undang-Undang Dasar.Selain dari itu terjadi penyelewengan di bidang perundang-undangan di mana berbagai tindakan pemerintah dilaksanakan melalui penetapan presiden yang memakai dekrit 5 Juli sebagai sumber hukum.
Dalam pandangan A. Syafi’i Ma’arif demokrasi terpimpin sebenarnya ingin menempatkan Soekarno sebagai Ayah dalam famili besar yang bernama Indonesia dengan kekuasaan terpusat berada di tangannya. Dengan demikian kekeliruan yang sangat besar dalam demokrasi terpimpin Soekarno adalah adanya pengingkaran terhadap nilai-nilai demokrasi yaitu absolutisme dan terpusatnya kekuasaan hanya paada diri pemimpin, sehingga tidak adaa ruang kontrol sosial dan chek and balance dari legislatif terhadap eksekutif.
3.      Demokrasi pada periode 1965-1998
Landasan formil dari periode ini adalah Pancasila, UUD 1945 serta ketetapan-ketetapan MPRS. Dalam usaha untuk meluruskan kembali penyelewengan terhadap Undang-Undang Dasar yang telah terjadi dalam masa demokrasi terpimpin, kita telah mengadakan tindakan korektif. Ketetapan MPRS No. XIX/1966 telah menentukan ditinjaunya kembali produk-produk legislatif dari masa demokrasi terpimpin dan atas dasar itu UU No. 19/1964 telah diganti dengan suatu undang-undang baru (No. 14/1970) yang menetapkan kembali azas “kebebasan badan-badan pengadilan.” Dewan perwakilan rakyat gotong royong diberi beberapa hak kontrol, di samping ia tetap mempunyai fungsi untuk membantu pemerintah. Pimpinannya tidak lagi mempunyai status menteri.
Begitu pula tata tertib meniadakan pasal yang memberi wewenang kepada presiden untuk memutuskan permasalahkan yang tidak dapat dicapai mufakat antara badan legislatif. Selain dari itu beberapa hak asasi diusahakan supaya diselenggarakan secara lebih penuh dengan memberi kebebasan lebih luas kepada pers untuk menyatakan pendapat, dan kepala partai-partai politik untuk bergerak dan menyusun kekuatannya, terutama menjelang pemilihan umum 1971. Dengan demikian diharapkan terbinanya partisipasi golongan-golongan dalam masyarakat di samping diadakan pembangunan ekonomi secara teratur.
Beberapa perumusan tentang demokrasi pancasila sebagai berikut :
a)      Demokrasi dalam bidang politik pada hakekatnya adalah menegakkan kembali azas-azas negara hukum dan kepastian hukum.
b)      Demokrasi dalam bidang ekonomi pada hakekatnya adalah kehidupan yang layak bagi semua warga negara.
c)      Demokrasi dalam bidang hukum pada hakekatnya bahwa pengakuan dan perlindungan HAM, peradilan yang bebas yang tidak memihak.
Dengan demikian secara umum dapat dijelaskan bahwa watak demokrasi pancasila tidak berbeda dengan demokrasi pada umumnya. Karena demokrasi pancasila memandang kedaulatan rakyat sebagai inti dari sistem demokrasi. Karenanya rakyat mempunyai hak yang sama untuk menentukan dirinya sendiri. Begitu pula partisipasi politik yang sama semua rakyat. Untuk itu pemerintah patut memberikan perlindungan dan jaminan bagi warga negara dalam menjalankan hak politik.
Namun demikian “demokrasi Pancasila” dalam rezim orde baru hanya sebagai retorika dan gagasan belum sampai pada tataran praksis atau penerapan. Karena dalam praktik kenegaraan dan pemerintahan, rezim ini sangat tidak memberikan ruang bagi kehidupan berdemokrasi. Dengan demikian nilai-nilai demokrasi juga belum ditegakkan dalam demokrasi pancasila Soeharto.
4.      Demokrasi pada periode 1998 – sekarang
Runtuhnya rezim otoriter orde baru telah membawa harapan baru bagi tumbuhnya demokrasi di Indonesia. Bergulirnya reformasi yang mengiringi keruntuhan rezim tersebut menandakan tahap awal bagi transisi demokrasi Indonesia. Transisi demokrasi merupakan fase krusial yang kritis, karena dalam fase ini akan ditentukan kemana arah demokrasi yang akan dibangun. Selain itu dalam fase ini pula bisa saja terjadi pembalikkan arah perjalanan bangsa dan negara yang akan menghantar Indonesia kembali memasuki masa otoriter sebagaimana yang terjadi pada periode orde lama dan orde baru.
Sukses atau gagalnya suatu transisi demokrasi sangat bergantung pada empat faktor kunci ; yakni, komposisi elite politik, desain institusi politik, kultur politik atau perubahan sikap terhadap politik dikalangan elite dan non elite, dan peran civil society (masyarakat madani). Keempat faktor itu harus jalan secara sinergis dan berkelindan sebagai modal untuk mengonsolidasikan demokrasi. Karena itu seperti yang dikemukakan oleh Azyumardi Azra langkah yang harus di lakukan dalam transisi Indonesia menuju demokrasi sekurang-kurangnya mencakup reformasi dalam tiga bidang besar ; pertama, reformasi sistem yang menyangkut perumusan kembali falsafah, kedua, reformasi kelembagaan yang menyangkut pengembangan dan pemberdayaan lembaga-lembaga politik, ketiga, pengembangan kultur atau budaya politik yang lebih demokratis.
Transisi ini yang sekarang dialami bukan pengalaman yang khas yang hanya dilalui Indonesia. Beberapa negara Amerika latin pada dekade 80-an, dan juga negara-negara Asia Tenggara seperti Thailand dan filipina pernah mengalami proses serupa. Transisi demokrasi slalu dimulai dengan jatuhnya pemerintahan otoriter. Sedangkan panjang pendeknya masa transisi tergantung pada kemampuan rezim demokrasi baru mengatasi problem transisional yang menghadang. Problem paling mendasar yang di hadapi negara-negara yang sedang mengalami transisi menuju demokrasi adalah ketidakmampuan membentuk tata pemerintahan baru yang bersih, transparan dan akuntabel. Akibatnya, legitimasi demokrasi menjadi lemah. Tanpa legitimasi yang kuat, rezim demokrasi baru akan kehilangan daya tariknya.
Secara historis, semakin berhasil suatu rezim dalam menyediakan apa yang diinginkan rakyat, semakin mengakar kuat dan dalam keyakinan mereka terhadap legitimasi demokrasi. Semakin kuat keyakinan terhadap legitimasi demokrasi dan komitmen untuk mematuhi aturan main sistem demokrasi, semakin manjur rezim dalam merumuskan kebijakan untuk merespon persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat.
Azyumardi Azra menyatakan bahwa demokratisasi di Indonesia agaknya tidak bisa dimundurkan lagi. Proses suksesi kpresidenan dengan jelas menandai berlangsungnya proses transisi ke arah demokrasi, setelah demokrasi terpenjarakan sekitar 32 tahun pada rezim Soeharto dengan “demokrasi pancasila”-nya dan 10 tahun pada masa rezim Soekarno dengan “demokrasi terpimpin”-nya. Dengan demikian secara empirik demokrasi yang sesungguhnya di Indonesia belum dapat terwujud. Karena itu membangun demokrasi merupakan pekerjaan rumah  dan agenda yang sangat berat bagi pemerintah.
Menurut Azyumardi, setidaknya ada empat prasyarat yang dapat membuat pertumbuhan demokrasi menjadi lebih memberi harapan. Pertama, peningkatan kesejahteraan ekonomi rakyat secara keseluruhan. Kedua, pemberdayaan dan pengembangan kelompok-kelompok masyarakat yang favourable bagi pertumbuhan demokrasi seperti “kelas menengah”, LSM, para pekerja dan sebagainya. Ketiga, hubungan internasional yang lebih adil dan seimbang. Keempat, sosialisasi pendidikan kewargaan.[5]

G.     Islam dan Demokrasi
Salah satu isu yang paling populer sejak dasawarsa abad ke-20 yang baru lalu adalah isu demokratisasi. Di antara indikator paling jelas dari kepopuleran tersebut adalah berlipat gandanya jumlah negara yang menganut sistem pemerintahan demokratis. Namun demikian di tengah gemuruh proses demokratisasi yang terjadi di belahan dunia, dunia islam sebagaimana dinyatakan oleh para pakar seperti Larry Diamond, Juan J. Linze, Seymour Martin Lipset tidak mempunyai prospek untuk menjadi demokratis serta tidak mempunyai pengalaman demokrasi yang cukup. Hal senada juga dikemukakan oleh Samuel P. Huntington yang meragukan ajaran islam sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi (Bahtiar Effendy, kata pengantar, 2002). Karena itu dunia islam dipandang tidak menjadi bagian dari gemuruhnya proses demokratisasi dunia. Dalam bahasa Abdelwahab Efendi (pemikir sudan) “angin demokratisasi memang berhembus ke seluruh penjuru dunia, namun tak ada satupun daun yang dihembusnya sampai ke dunia muslim” (Mun’im A. Sirry, 2002). Dengan demikian terdapat pesimisme berkaitan pertumbuhan dan perkembangan demokrasi di dunia islam.
Perdebatan dan wacana tentang hubungan antara islam dan demokrasi sebagaimana diakui oleh Mun’im A. Sirry memang masih menjadi tema perdebatan dan wacana yang menarik dan belum tuntas. Karena itu kesimpulan yang diberikan oleh para pakar di atas bahwa islam tidak sesuai dengan demokrasi hanyalah bagian dari wacana yang berkembang di kalangan para pakar politik islam ketika mereka mengkaji hubungan islam dan demokrasi.
Berdasarkan pemetaan yang dikembangkan oleh Jhon L.Esposito dan James P.Piscatory (sukron kamil,2002) secara umum dapat dikelompokkan dalam 3 kelompok pemikiran yaitu:
a.      Islam dan demokrasi adalah 2 sistem politik yang berbeda. Islam tidak bisa disubordinatkan dengan demokrasi. Islam merupakan sistem politik yang self-sufficient. Hubungan ke duanya bersifat mutually exclusive. Islam dipandang sebagai sistem politik alternatif terhadap demokrasi. Dengan demikian islam dan demokrasi adalah dua hal yang berbeda, karena itu demokrasi sebagai konsep barat tidak tepat untuk dijadikan sebagai acuan dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sementara islam sebagai agama yang kaffah (sempurna) yang tidak saja mengatur persoalan teologi (akidah), dan ibadah, melainkan mengatur segala aspek kehidupan umat manusia.
b.      Islam berbeda dengan demokrasi apabila demokrasi didefinisikan secara prosedural seperti dipahami dan dipraktekan dinegara-negara maju (barat), sedangkan islam merupakan sistem politik demokratis kalau demokrasi didefinisikan secara subtantif, yakni kedaulatan ditanagan rakyat dan negara merupakan terjemahan dari kedaulatan rakyat ini. Dengan demikian dalam pandangan kelompok ini demokrasi adalah konsep yang sejalan dengan islam setelah diadakan penyesuaian penafsiran terhadap konsep demokrasi itu sendiri.
c.       Islam adalah sistem nilai  yang membenarkan dan mendukung sistem politik demokrasi seperti yang diperaktikan negara-negara maju. Di indonesia, pandangan yang ke 3 tampaknya yang lebih dominan karena demokrasi sudah menjadi bagian integral sistem pemerintahan indonesia dan negara-negara muslim lainnya.
Penerimaan negara-negara muslim(dunia islam) terhadap demokrasi sebagaimana yang dikemukakan oleh kelompok ke 3 tidak berarti bahwa demokrasi dapat tumbuh dan berkembang dinegara muslim secara otomatis dan cepat. Belom tumbuh dan berkembangnya demokrasi didunia islam bahkan yang terjadi adalah sebaliknya dimana negara-negara muslim justru merupakan negara yang langka dalam menerapkan demokrasi, sementara rezim otoriter menjadi trend dan dominan. Ada beberpa alasan teoritis yang bisa menjelaskan tentang lambannya pertumbuhan dan perkembanagan demokrasi didunia islam. Pertama, pemahaman doktrinal menghambat praktek demokrasi. Hal ini disebabkan oleh kebanyakan kaum muslim yang cenderung memahami demokrasi sebagai sesuatu yang bertentangan dengan islam. Kedua, persoalan kultur. Demokrasi sebenarnya telah dicoba di negara-negara muslim sejak paruh pertama abad 20 tapi gagal. Tampaknya ia tidak akan suskses pada masa-masa mendatang, karena warisan kultural masyarakat(komunitas) muslim sudah terbiasa dengan otokrasi dan ketaatan pasif. Ketiga, lambannya pertumbuhan demokrasi didunia islam tak ada hubungan dengan teologi maupun kultrul, melainkan lebih terkait dengan sifat alamiah demokrasi itu sendiri. Untuk membangun demokrasi diperlukan kesungguhan, kesabaran dan diatas segalanya adalah waktu.
Dengan mempergunakan parameter yang sangat sederhana, pengalaman empirik demokrsi hanya bisa ditemukan selama pemerintahan Rasulullah sendiri yang kemudian dilanjutkan oleh 4 sahabatnya yang dikenal dengan jaman khulafa al rasyidin. Setelah pemerintahan ke 4 sahabat tersebut menurut catatan sejarah sangat sulit kita menemukan demokrasi didunia islam secara empirik sampai sekarang ini.[6]

H.     Isu Jender dalam Islam dan Demokrasi
Dewasa ini, isu gender merupakan isu kontroversial  yang terkemuka dalam kancah perkembangan global.  Itu diindikasikan dengan ditetapkannya isu gender sebagai salah satu dari delapan target “sasaran pembangunan milenium” yang disepakati oleh beberapa negara di dunia, termasuk Indonesia. Isu gender berkaitan erat dengan persoalan universal di mana “pemberdayaan perempuan” sebagai inti dari isu tersebut. Dalam konteks ini, pemberdayaan perempuan tidak hanya terbatas pada tataran psikologi dan moral, tetapi juga merambah pada sektor ekonomi, sosial, dan politik (bahkan kebudayaan, serta pertahanan dan keamanan), dimana semua itu di balut dalam bingkai nilai-nilai keadilan dan hak asasi manusia.
Dalam platform pembangunan Indonesia, keadilan dan kesetaraan gender telah menjadi perhatian, khususnya dalam dunia politik. Itu tercermin dengan kelahiran UU No.31 tahun 2002 tentang partai politik yang mempertegas arahan partisipasi politik perempuan pada jalur-jalur lembaga politik. Di Indonesia, menurut data statistik, jumlah populasi perempuan melebihi laki-laki. Tetapi sangat di sayangkan, secara faktual keterwakilan perempuan dalam kancah politik berbanding terbalik. Kesempatan dalam kiprah politik dan peran kepemimpinan perempuan sangat penting untuk ditingkatkan, baik dalam kualitas maupun kuantitas.
Kebebasan perempuan Indonesia dalam dunia politik merupakan jalan untuk merealisasikan pemerintahan yang bernafaskan “demokrasi” dan “nilai-nilai islam.” Hal itu mengingat dasar negara Indonesia (pancasila) berdasarkaan pada nilai-nilai islam, salah satunya ketuhanan yang maha esa (sila pertama). Namun kondisi negeri ini tidak kondusif untuk menjadi republik islam karena Indonesia merupakan negara majemuk yang terdiri dari berbagai latar belakang, suku, bangsa, agama, kepercayaan, dan keragaman lainnya.
Titik temu antara demokrasi dan islam adalah “kebebasan”. Jadi kebebasan adalah unsur yang terkandung atas sintesis antara demokrasi dan islam. Kebebasan perempuan dalaam kedua hal tersebut dapat merealisasikan pemerintahan demokrasi islam dalam menyokong pemberdayaan perempuan. Selain itu kebebasan perempuan, terutama dalam ranah politik, akan mendorong peningkatan peran aktif perempuan dalam berbagai bidang kehidupan. Dalam prespektif islam, peran perempuan ditempatkan sangat strategis. Seperti termaktub dalam sebuah hadis Rasulullah Saw, “perempuan itu ibarat tiang negara, manakala baik (berkualitas) perempuan di suatu negara, maka baiklah negara itu. Manakala rusak kaum perempuannya, rusaklah negara itu.”
Adapun hal esensial yang harus diperjuangkan oleh perempuan sesungguhnya bukanlah menuntut hak perempuan, tapi membangun kesadaran. Karena penuntutan hak bertentangan dengan kaidah logika ; apabila perempuan menuntut hak berarti perempuan merasa ada hak yang dirampas oleh pihak lain di luar dirinya, baik disebabkan oleh istem maupun individu. Hal ini mengindikasikan bahwa sejak awal perempuan mengafirmasi posisinya sebagai subordinat. Kesadaran pada akhirnya akan mengarahkan pada pemberdayaan perempuan karena mereka yang lebih mengetahui permasalahan yang berhubungan dengan dirinya.[7]
Dalam islam seorang perempuan bukan tidak diperbolehkan pemimpin namun dianjurkan untuk tidak menjadi pemimpin karena beberapa sifat dan kebiasaan perempuan. Namun dalam demokrasi, hal yang diambil setelah tidak dicapai kata mufakat adalah suara terbanyak. Dan suara terbanyak tidak mengharuskan yang dipilih itu perempuan atau laki-laki.
















[1] Ruhpina,L.Said,2005,menuju demokrasi pemerintahan,makalah,fakultas hukum Universitas Mataram,Mataram
[2] Winarno,S.PD.,M.SI,2014,Paradigma baru pendidikan kewarganegaraan,bumi aksara,Jakarta
[3] Noor Ms Bakry,2009,pendidikan kewarganegaraan,Yogyakarta
[4] Winarno,S.PD.,M.SI,2014,Paradigma baru pendidikan kewarganegaraan,bumi aksara,Jakarta

[5] Rosyada Dede, Ubaidillah A, Rozzak Abdul, Sayuti Whdi, Salim Arskal,2003,pendidikan kewarganegaraan : demokrasi, HAM dan masyarakat madani, prenada media,Jakarta timur.
[6] Rosyada Dede, Ubaidillah A, Rozzak Abdul, Sayuti Whdi, Salim Arskal,2003,pendidikan kewarganegaraan : demokrasi, HAM dan masyarakat madani, prenada media,Jakarta timur.
[7] Wa ode Zainab Zilullah Toresano

REVIEW FILM ALANGKAH LUCUNYA NEGERI INI

Nama         : Nikmatun Apriliya
NIM           :160103011
Kelas          : 1A

Review Film “Alangkah Lucunya Negeri Ini”
Film “Alangkah Lucunya Negeri Ini” berkisah tentang seorang pemuda yang bernama Muluk, seorang sarjana manajemen yang susah mencari pekerjaan. Ia  sudah mencoba mencari pekerjaan kesana kemari namun tetap tidak dapat. Bahkan ada perusahaan yang akan gulung tikar.Oleh sebeab itu, ia hendak beternak cacing. Namun tanpa sengaja ia bertemu dengan seorang pencopet dan kemudian ia mengikuti pencopet itu ke markasnya dan bertemu dengan bos mereka yaitu Jarot. Kemudian Muluk mengutarakan niatnya untuk mengubah kehidupan pencopet agar menjadi lebih baik. Para pencopet itu tetap bekerja sesuai kebiasaannya, dan 10 % dari hasil mencopet itu disisihkan untuk ditabung dan dijadikan ladang bisnis.
Usaha yang dikelola Muluk berhasil, namun di hati kecilnya tergerak niat untuk mengarahkan para pencopet agar mau mengubah profesi mereka menjadi pengasong. Karena menurutnya dengan mengasong,lama-lama akan bisa membangun usaha toko sendiri sehingga dapat merubah nasib anak-anak tersebut.
Muluk melihat bahwa anak-anak pencopet itu membutuhkan pendidikan. Oleh karena itu ia mengajak teman satu kampungnya yaitu Samsul yang seorang sarjana pendidikan yang masih menganggur dan pekerjaannya hanya bermain kartu saja di kampungnya. Kemudian Muluk juga mengajak Pipit yang juga belum mempunyai pekerjaan untuk mengajarkan nila-nilai agama kepada anak-anak tersebut.
Semua usaha yang di lakukan Muluk untuk anak-anak tersebut akhirnya membuahkan hasil. Semula mereka tidak dapat membaca dan menulis menjadi bisa, dan dapat menghafal pancasila, mereka juga tahu cara-cara shalat dan mandi yang bersih. Namun pada suatu hari, orangtua dari Muluk, Pipit dan calon mertua dari Muluk ingin datang melihat usaha yang dilakukan oleh Muluk, Pipit dan Samsul. Akhirnya mereka tahu bahwa selama ini anak-anak mereka bekerja merawat copet dan digaji dari hasil copet yang menurut mereka adalah uang haram. Akhirnya Muluk, Pipit dan Samsul harus melepaskan para pencopet dengan dibekali modal berjualan asongan agar tidak perlu mencopet lagi.
Ada beberapa anak yang memilih mengasong, dan sisanya memilih untuk tetap menjadi pencopet. Ketika mereka telah memutuskan untuk mencari nafkah dengan cara yang halal, datanglah petugas satpol PP yang menangkap pengemis dan pedagang asongan. Muluk yang melihat anak-anak pedagang asongan yang ditangkap oleh petugas akhirnya datang membela dan rela bila ia yang ditangkap oleh petugas, karena menurutnya bukan salah anak-anak itu yang mencari rezeki halal dengan cara berdagang asongan.
Di akhir film ada kutipan Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi :“Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara”.
Pelajaran yang dapat diambil dari film “Alangkah Lucunya Negeri Ini” :
1)      Pendidikan itu penting, dimana dalam proses pendidikan di dapat berbagai pelajaran dan ilmu-ilmu yang tidak di peroleh di manapun selain di bangku sekolah.
2)      Film ini memberi banyak hikmah bahwa segala sesuatu harus di dasari oleh agama. Karena agama yang dapat merubah akhlak manusia.
3)      Menjadi sukses tidaklah mudah,harus dimulai dari yang terendah. Seperti yang semulanya mengasong, lama-lama bisa membuka kios kemudian toko.


Persamaan Differensial Orde 2

BAB I PENDAHULUAN A.     Pengantar Persamaan differensial orde 2 adalah persamaan yang dapat ditulis dalam bentuk : F(x, y, y’,...